,

Mengisi #LiburanHijau dengan Belajar dari Negeri Sakura

Pada liburan ini, saya belajar banyak dari negeri sakura tentang hidup hijau. Bedanya bukan saya yang melancong ke Jepang, tetapi warga Jepang lah yang pergi ke Indonesia untuk mempromosikan hidup hijau!

Begini ceritanya.

Kebetulan saya diajak oleh senior saya untuk bergabung di tim yang disebut “Kagoshima – Metallurgy UI”. Pada mulanya saya tidak tahu tim itu bekerja untuk apa, kerjanya apa saja, dan tujuannya apa. Tak lama kemudian, saya mulai mengetahuinya.

Kampus tempat saya berkuliah saat ini, Teknik Metalurgi dan Material UI, bekerja sama dengan beberapa universitas di luar negeri. Salah satunya Universitas Kagoshima. Ada seorang professor dari situ yang saaangat tertarik dengan lingkungan, hidup hijau, dan pendidikan. Namanya Kozo Obara. Prof. Obara ini keren, ia tidak sekedar membicarakan atau mengadakan seminar tentang lingkungan dan pendidikan, tetapi ia terjun langsung ke lapangan.

Membuat kompos “kristal daun”

Pada saat bergabung, saya diminta oleh senior untuk mengurus bagian mengomposkan daun. Mulanya saya hanya tertawa dan banyak bertanya-tanya. Sebab, apa hubungannya metalurgi dan material yang notabene belajar pengolahan logam dan material dengan membuat kompos? Selain itu, siapa sih yang tidak bisa mengomposkan daun? Lalu, apa iya Prof. Obara jauh-jauh ke Indonesia hanya untuk membeli kompos? Bukankah teknologi pengomposan daun di Jepang sudah lebih advanced, karena negeri Jepang telah sanggup mengolah sampah dengan sangat baik?

Ternyata pengomposan yang diminta Prof. Obara adalah “pengomposan yang terstruktur dan dapat dikendalikan”. Waduh, apa pula ini?

Pengomposan tersebut adalah kondisi di mana daun yang dikomposkan tidak hancur seluruhnya. Yang luruh hanya lapisan epidermisnya, sedangkan tulangannya dan beberapa jaringan keras lainnya tidak hancur. Hasilnya merupakan “kristal daun” seperti ini:

“Kristal daun”

Wow, keren sekali! Pertanyaan saya berikutnya adalah untuk apa gerangan daun-daun ini? Bukankah tak ada bedanya, antara pupuk kompos daun yang sudah hancur, dengan kompos “kristal daun” seperti ini?

Nah ternyata, daun ini akan dibeli oleh Prof. Obara seharga 10 yen yang setara dengan Rp1.000,00 per lembarnya. Daun ini bukan untuk memupuk tanaman, melainkan dijual sebagai hiasan. Ujar senior saya, di Jepang daun seperti ini laku dijual sebagai dekorasi. Peruntukannya mulai dari pajangan di rumah, bahan hiasan di garmen, dan sebagainya. Di sana, selembar daun yang sudah didekorasi ini bisa laku hingga Rp30.000,00! Wuih! Ternyata kitamemang bisamembeli sesuatu bermodalkan uang.

Setelah mengetahui seluk beluk “kristal daun” tersebut, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana caranya untuk membuat “ramuan” kompos yang dapat dikendalikan. Ini menjadi tanda tanya besar.

Setelah mencari tahu, ditemukanlah jawabannya. Pertama-tama, kumpulkanlah daun yang akan dibuat kristal dan ember beserta tutupnya. Setelah itu siapkan komposter (nama komposternya saya lupa) serta lumpur dari sungai yang agak bersih. Masukkan lumpur dari sungai itu ke dalam ember, lalu berikanlah komposter. Setelah diaduk, masukkanlah daun yang akan dibuat kristal. Pastikan seluruh daun itu tertimbun lumpur.

Setelah ditimbun, diamkanlah selama beberapa hari. Jadilah kristal daun.

Di benak kami, mudah benar mendapatkan uang hanya dari mengolah daun. Tinggal pungut saja daun di pinggir jalan. Namun nyatanya tidak seperti itu.

Tim Kagoshima – Metallurgy UI bereksperimen menggunakan daun rambutan, daun mangga, dan daun jambu. Setelah berminggu-minggu direndam, tidak ada perubahan. Kemudian beberapa hari kemudian muncullah perubahan. Begitu diangkat, daun itu hancur! Alhasil, 3 macam daun itu tidak dapat dijadikan kristal daun. Wah, bagaimana ini jika proyeknya gagal?

Kemudian karena salah satu tujuan Prof. Obara membuat kompos ini adalah untuk pendidikan, maka kami bekerja sama dengan SDN 05 Beji Depok. Kemudian kami berbicara dengan kepala sekolahnya yang cukup nyentrik. Pihak SDN 05 bersedia dan akan membuat dedaunan ini juga. Mereka mencoba menggunakan daun sirsak. Ternyata daun ini cocok dan dapat meluruh dengan cepat!

 

SDN 05 Beji

Kami diperkenalkan dengan proyek ini sekitar bulan April. Prof. Obara semula meminta 1.000 lembar daun pada bulan Juni. Namun nyatanya hingga kami para mahasiswa mulai libur pada akhir Mei, daun ini belum juga jadi. Waduh bagaimana ini?

Kepala Sekolah SDN 05 Beji (kanan)

Beruntungnya daun sirsak hanya membutuhkan waktu sekitar 2 pekan untuk menjadi kristal. Mulailah kami mengebut supaya lekas selesai. Akan sangat memalukan, bukan, kalau proyek yang diminta oleh profesor dari Jepang ini akan gagal?

Akhirnya pada tanggal 17 Juni, Prof. Obara datang ke Indonesia. Karena kami bekerja sama dengan sekolah–dan Prof. Obara sangat senang bekerja sama dengan sekolah–maka Prof. Obara juga akan meninjau langsung sekolahnya.

Pada 19 Juni, Prof. Obara meninjau langsung ke sekolah. Di situ, beliau mempromosikan pentingnya hidup sehat dan pro lingkungan kepada anak kelas 4. Mungkin anak kelas 4 dipilih karena mereka sudah tidak terlalu polos untuk mengetahui isu global seperti ini, dan belum terlalu dewasa untuk dibentuk pola pikirnya.

Prof. Obara ditemani dengan senior saya yang sanggup berbahasa Jepang denganfluent, Kak Ai, berceloteh tentang keanekaragaman hayati di dunia, terutama Indonesia. Contohnya seperti Indonesia dikaruniai oleh Tuhan beraneka ragam spesies hiu, maka kita harus melestarikannya supaya tidak punah. Caranya dengan tidak memakan sup sirip hiu. Atau seperti menjaga terumbu karang di Indonesia. Sebab karena dampak pemanasan global yang terlalu cepat, sekarang banyak terumbu karang yang memutih[1][2]. Pemutihan itu berujung pada matinya terumbu karang, dan berdampak pada ikan-ikan yang tidak memiliki “tempat tinggal”. Hancurlah keseimbangan ekosistem.

Di acara yang diliput oleh harian Monitor Depok ini, Prof. Obara tak hanya tentang lingkungan, tetapi beliau juga berbicara tentang energi. Berkali-kali beliau menekankan sumber energi terbarukan seperti tenaga matahari, tenaga angin, dan banyak lagi.

Anak-anak terlihat senang dengan cerita tersebut. Saat Prof. Obara berbicara dengan bahasa Jepang, terdengar juga bahwa anak-anak sangat antusias. Namun namanya anak-anak, ada saja 3-5 anak yang tidak fokus mendengarkan Prof. Obara.

Setelah berbicara tentang keanekaragaman hayati di Indonesia, dilanjutkan dengan penyerahan daun sirsak yang sudah dikristalkan tersebut. Sayangnya dari 1.000 lembar yang diminta, kami hanya menyanggupi 240 lembar daun. Meskipun begitu, Prof. Obara tetap senang.

Tak lama kemudian, Prof. Obara merogoh koceknya dan menyerahkan uang sebesar JPY 1.000 untuk pelestarian belimbing depok dan beberapa tanaman lainnya. Waaah, ternyata uang yang diberikan Prof. Obara ini ujungnya untuk lingkungan juga! Senangnya.

Dengan mengalirnya uang tersebut, bertambahlah PR kami untuk melestarikan lingkungan.

Setelah itu, acara bubar. Anak-anak berkata, “Arigatoou gozaimasu, Obara Sensei!”

Senangnya.

Ngobrol langsung dengan Prof. Obara

Sepulangnya dari acara tersebut, kami mampir dulu di rumah Kak Ai. Kami ngobrol dengan Prof. Obara. Terlihat sekali bahwa beliau sangat peduli dengan lingkungan dan energi. Pada saat bercengkrama, beliau berulang kali menekankan pentingnya energi yangsustainable.

Beliau juga sangat tertarik pada tumbuhan. Jika ada tumbuhan yang belum pernah dilihat, beliau akan menunjukkan kekagumannya.

Saya ngobrol tentang sumber energi di Jepang saat ini. Beliau menjawabnya dengan riang gembira, layaknya kebiasaan orang Jepang yang sering kita lihat di televisi. Ujarnya, sejak musibah PLTN Fukushima 2011 silam, kebijakan energi di Jepang jadi berubah total. Sejak saat itu, seluruh PLTN di Jepang ditutup seluruhnya secara perlahan. Kemudian energi terbarukan seperti energi surya, angin, dan perbedaan arus laut mulai digalakkan.

Kiri ke kanan: Prof. Obara, saya, dan Pak Hiraishi
Kiri ke kanan: Prof. Obara, saya, dan Pak Hiraishi

Ujarnya, memang ada banyak sekali sisi negatif dari pengembangan energi terbarukan tersebut. Misalnya dari energi angin, ada banyak sekali burung-burung yang tidak sengaja tergilas kincir angin. Dari pemanfaatan energi arus laut, keseimbangan ekosistem laut menjadi terancam. Segi negatif dari pengembangan energi surya antara lain biaya risetnya yang sangat-sangat-sangat mahal, sehingga terlihat memboroskan anggaran. Namun itulah yang harus “dibayar” demi pengembangan energi baru yangsustainable.

Kalau begitu, seandainya di Jakarta dibuat lahan untuk menampung sel surya, jangan-jangan akan terjadi banjir karena kurangnya RTH[3].

Kemudian beliau juga sedikit bercerita tentang pengalamannya menonton siaran televisi mengenai demo penolakan kenaikan harga BBM. Ujarnya, di sana harga bahan bakar minyak sangatlah mahal. Ini memaksa penduduknya untuk menggunakan transportasi umum.

Prof. Obara ogah diajak bicara yang berat-berat. Sesekali beliau mengalihkan pembicaraan ke hal yang ringan. Seperti tanaman yang populer di Indonesia, atau tentang pengalamannya di Indonesia, dan sebagainya. Bahkan beliau juga menyempatkan diri mengobrol dan memotret adik Kak Ai yang masih SD. Wah wah, luar biasa sekali.

Anak-anak

Sungguh cerdas Prof. Obara dalam “memanfaatkan” anak-anak untuk kampanye lingkungan. Sebab dengan melibatkan anak-anak, dunia yang hijau tidak hanya tercapai saat ini saja, tetapi juga hingga ke generasi mendatang. Di tangan anak-anak, kebijakan di masa depan akan dibuat. Jika mereka tidak mengenal keanekaragaman hayati dan energi terbarukan saat ini, mungkinmindsetgo greentidak akan tertanam erat nanti.

Selain itu melalui “media” Prof. Obara yang notabene orang asing, anak-anak memang terlihat lebih antusias mendengarkan. Diharapkan benak mereka benar-benar tertanam akan pentingnya hidup hijau.

Penghematan listrik

Proyek Kagoshima – Metallurgy UI ini tidak hanya berkutat di pembuatan kompos saja. Tetapi juga isu lainnya seperti penggunaan listrik.

Untuk proyek listrik ini, penanggung jawabnya adalah Pak Hiraishi. Beliau adalah mahasiswa program doktoralnya Prof. Obara. Gol yang ingin dicapai dari program ini adalah menciptakan satu desa yang hanya mengonsumsi listrik dari PLN sebesar 100 watt (bukan kWh). Padahal rata-rata rumah tangga memasang daya 1300 VA alias 1300 Watt.

Lalu sisa daya tersebut akan disuplai dari tenaga alternatif. Entah itu dari sampah, sinar matahari, atau tenaga lainnya. Proyek yang sangat ambisius ini bisa dibilang tidak ada keterkaitannya dengan Pemkot Depok. Murni dari ide Pak Hiraishi sendiri.

Kemudian liburan ini kami membantu Pak Hiraishi mengumpulkan data. Data awal yang dibutuhkan adalah tarif listrik per rumah tangga per bulannya. Selanjutnya tak lupa ada edukasi ke masyarakat tentang pentingnya menghemat listrik.

Jika kunjungan ke SDN 05 Beji dilaksanakan pada tanggal 19 Juni, maka Pak Hiraishi melakukan presentasi proyek listrik 100 watt-nya di Universitas Indonesia pada 21 Juni.

Bayangkan, jika 50 rumah untukpilot projectdapat menghemat ribuan watt. Berapa polusi udara yang dapat kita kurangi dari penggunaan bahan bakar untuk membangkitkan listrik! Berapa derajat celcius kenaikan suhu yang dapat kita cegah![4] Belum lagi suhu global selama 130-an tahun terakhir ini memang naik dengan sangat-sangat drastis.[5]

Hingga saat ini proyek ini masih berjalan. Ternyata membutuhkan waktu yang saaaangat lama. Mudah-mudahan, akhir liburan kami di bulan September nanti, proyek ini sudah bisa dijalankan. Aamiin.

Refleksi

Bayangkan, warga Jepang yang jaraknya ribuan kilometer dari Indonesia masih sangat peduli dengan lingkungan Indonesia, Depok pada khususnya. Bahkan beliau sampai datang jauh-jauh ke SDN 05 Beji “sekedar” untuk memberikan edukasi. Saya jadi tertohok, lho.

Kunjungan beliau juga sangat-sangat bermanfaat, pada kami khususnya. Kita jadi belajar banyak. Antara lain kalau dedaunan seperti itu memiliki nilai jual yang cukup besar. Dari dedaunan, kita mendapatkan pelajaran ekonomi kreatif + pelestarian alam + bekerja keras. Luar biasa.

Referensi:

[1]http://www.mongabay.co.id/?s=terumbu+karang+memutih

[2]http://www.mongabay.co.id/2012/07/09/dari-sabang-sampai-merauke-hancur-terumbu-karang-tanah-airku/

[3]http://www.mongabay.co.id/2013/06/22/dari-banjir-sampai-polusi-perlu-kerja-keras-benahi-lingkungan-jakarta/

[4]http://www.mongabay.co.id/2013/07/18/penelitian-permukaan-laut-naik-23-meter-setiap-kenaikan-suhu-1-derajat-celcius/

[5]http://www.theguardian.com/environment/video/2013/jan/16/how-global-temperatures-changed-1880-video?CMP=twt_fd

Tentang global warming:http://www.pnas.org/content/103/39/14288.full

Artikel yang diterbitkan oleh