Oleh : Gwirman (ucuy)
Beberapa kejadian seperti konflik serta bencana Ekologis kerap sekali menerpa sejumlah daerah. Sejumlah kasus Kriminalisasi serta berbagai bencana aneh ini erat kaitannya dengan laju kerusakan hutan di Kalimantan Tengah yang kian meningkat. Sebanyak 80 persen dari hutan Kalimatan Tengah telah musnah, dan setengah dari yang masih ada terancam keberadaannya oleh penebangan komersil, kebakaran hutan dan terlebih pula pembukaan hutan untuk kebun kelapa sawit.
Menurut data SOB Laju kerusakan hutan kita, lebih dari 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 km persegi hutan kita rusak setiap setiap hari atau300 kali lapangan sepak bola setiap jamnya. Pembukaan perkebunan kelapa sawit merupakan ancaman utama terhadap kelestarian hutan beserta ekosistem alamiahnya, apalagi hal ini memperoleh legalitas dari pemerintah. Tak tanggung-tanggung luas areal kebun sawit di Kalimantan tengah seluas 791.667 hektar, dan tidak menutup kemungkinan masih akan terus diperluas.
Selayaknya pemerintah mengkaji kembali, kegiatan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Perkebunan kelapa sawit lebih baik dilakukan di areal hutan yang sudah rusak akibat kebakaran atau illegal logging. Akan tetapi faktanya pembukaan perkebunan sawit selama ini dilakukan pada areal hutan alam, karenanya sejumlah pihak mencurigai pengambilan kayu dari hutan yang dikonversi sebagai motif utama konversi hutan untuk sawit. Pembukaan areal perkebunan sawit selama ini hanya melihat sisi ekonomi serta keuntungannya saja, tak pernah dipikirkan dampaknya di masa mendatang bagi kelangsungan biodiversitas serta kehidupan.
Keuntungan ekonomi yang dihasilkan dari investasi perkebunan sawit tidak setimpal jika dibandingkan dengan kerugian yang diakibatkannya. selain menggerus luasan hutan alam yang selama ini menjadi penyangga ekosistim alam dan iklim secara global, perkebunan sawit juga mengancam katahanan pangan bagi masyarakat yang berada didalamnya. Ditengah upaya keras bangsa ini untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, sejumlah areal pertanian tanaman pangan mengalami kerusakan serius akibat dari kehancuran ekosistem hutan, bahkan sejumlah areal produksi tanaman pangan dikonversi menjadi areal perkebunan sawit.
Selain kerusakan lingkungan, investasi perkebunan kelapa sawit juga mengancam keberadaan masyarakat lokal beserta hak-hak tradisionalnya. Secara umum diskriminasi terhadap masyarakat lokal sangat banyak terjadi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan lahan hutan di Kalimantan Tengah. Seringkali hutan lindung, hutan konservasi dan kawasan tambang ditetapkan oleh pemerintah sendiri tanpa melibatkan komunitas masyarakat lokal.
Ekspansi kebun sawit berdampak pada deforestasi dan degradasi hutan terhadap masyarakat Lokal. Bagi masyarakat Lokal yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, deforestasi dan degradasi hutan berdampak pada seluruh aspek kehidupan. Dampak tersebut bukan hanya dibidang ekonomi tapi juga bidang politik, sosial dan budaya.
Ekonomi, Masyarakat akan kehilangan kemandirian dalam mencukupi kehidupan hidupnya karena kehilangan sumber makanan dan tempat tinggal. Jika ditelusuri lebih dalam masyarakat yang berada di kawasan hutan akan lebih mudah untuk menggantungkan hidupnya dari hasil hutan, jika kita kembali kejaman dahulu, kebanyakan masyarakat local memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti berburu dan berladang bahkan tak jarang juga dari mereka memanfaatkan beberapa jenis tanaman untuk dijadikan obat-obatan dan bahan pokok makanan. Jika dibahas masalah pencemaran yang dilakukan pabrik-pabrik besar berdiri megah yang terus menerus membuang limbah ke sungai kemudian pupuk kimia yang digunakan, tak jarang dari kasus ini di beberapa sungai telah tercemar yang menyebabkan ikan mati mendadak, air sungai tidak dapat dikonsumsi lagi.
Politik, Masyarakat local (komunitas adat) kehilangan jati diri dan kedaulatan dalam menentukan hidupnya. Kehilangan hutan adat menyebabkan masyarakat tidak mampu lagi mengatur hidupnya sendiri. Di Kalimantan Tengah, banyak kasus menyebutkan bahwa masyarakat adat kehilangan hutan adat salah satunya karena perluasan areal perkebunan sawit. Bahkan mereka terpaksa menjadi buruh di tanahnya sendiri. Ada juga yang terpaksa bekerja sebagai buruh penoreh karet di wilayah masyarakat lainnya dan sebagai penambang tradisional. Tak dipungkiri kekuasaan para pemodal dari luar lebih berkuasa ketimbang para pejabat setempat pemberi izin yang harus merelakan nasib rakyatnya terjajah. Tak jarang dari hasil kekeuasaan tersebut banyak praktek-praktek buruk yang diperlihatkan oleh para Investor telah membinasakan hak-hak manusia yang berada di dalamnya seperti, kriminalisasi, pengambilan paksa lahan masyarakat, penggusuran perkampungan dan lain-lain.
Budaya, Masyarakat adat terancam tidak dapat melestarikan warisan budaya dari leluhur dikarenakan sifat serakah, rakus dan semena-mena para pejabat setempat dan Investor yang sepertinya berkerjasama dengan sengaja menghilangkan beberapa situs keramat, Pukung Pahewan, Tajah Antang, Kaleka (tempat tinggal orang berladang berpindah pada jaman dahulu), Kuburan Keramat dan Sandung, yang bagi masyarakat local itu sendiri lebih penting keberadaannya ketimbang dengan harus adanya perkebunan kelapa sawit di wilayahnya. Beberapa kasus misalnya yang telah terjadi, di kabupaten Kotim, Seruyan, Kobar, Kapuas, akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit besar-besaran telah menghilangkan kuburan, Kaleka, dan Situs keramat telah habis tanpa sisa dan menjadi sasaran amuk mesin penggusur milik perusahaan.
Dilihat dari hal tersebut di atas perlawanan akan hak-hak akan keadilan hidup yang layaklah yang sekarang ini terus diperjuangkan, guna menapak keberlangsungan hidup yang akan datang menjaga agar hutan tetap lestari.