,

RESTORING COASTAL LIVEHOOD (RCL) GANDENG KOMISI AMDAL, PRAKTISI LINGKUNGAN, DAN MEDIA BERBINCANG TENTANG PEMANASAN GLOBAL

Eksistensi hutan mangrove di kawasan pesisir memiliki peranan penting, terutama kaitannya dengan keberlangsungan hidup masyarakat pesisir. Selain sebagai tempat hidup satwa dan kini dikelolah sebagai teh serta selai, hutan mangrove turut ambil bagian dalam meminimalisir dampak pemanasan global.

Namun, minimnya kesadaran tentang hidup berdampingan antara manusia dan mangrove pada akhirnya mengikis jumlah hutan mangrove. Hal ini juga dialami pada hutan mangrove yang berada di Sulawesi Selatan. Maka dari itu, adanya upaya untuk menjaga, mempertahankan, serta menyadarkan masyarakat tentang keberadaan mangrove dinilai sangat penting.

Hal ini merupakan tujuan yang ingin disampaikan Oxfam dalam program Restoring Coastal Livehood (RCL) pada talkshow tentang Pemanasan Global Ancaman Bagi Lingkungan Hidup yang dilaksanakan pada Kamis (22/08/2013) bertempat di Graha Pena.

Talkshow ini mengundang Musmahendra dari Komisi Amdal Sulsel, Taufik Kasaming mewakili Walhi Sulsel, Agustinus Wahyu dari Oxfam Sulsel, dan M. Basri selaku Redaktur Senior Fajar.

Pada kesempatan itu, Agustinus memaparkan tujuan program RCL sebagai upaya untuk mendorong masyarakat pesisir agar memiliki daya tahan sosial untuk kehidupan mereka.

“Dari empat daerah yang kami dampingi, kami fokus pada peningkatan hasil mata pencaharian, mengingat kondisi ekonomi yang lemah rentan menimpa masyarakat pesisir. Juga melakukan pemberdayaan pesisir, yakni mangrove”, ujarnya.

Kondisi hutan mangrove yang mengalami degradasi sampai pada angka 80% menjadi kondisi yang memerlukan perlakuan khusus dari segala pihak. Padahal untuk ukuran 1 hektar hutan mangrove, dapat menyerap emisi karbon sekitar 70 ton.

Agustinus menambahkan, “Keberadaan hutan mangrove juga memberi sumbangsih terhadap keberlangsungan hidup masyarakat, tidak hanya dari aspek ekonomi. Dimana Oxfam merangkul perempuan pesisir untuk ambil bagian dalam mendorong kemampuan finansial keluarga. Lebih dari pada itu, upaya meminimalisir dampak pemanasan global adalah tujuan utama dari eksistensi hutan mangrove.”

Masih terkait dengan degradasi hutan mangrove, adanya penegakan hukum yang lemah menjadi hal yang dipaparkan Musmahendra, “Jika murujuk pada aturan, maka ketika akan dilakukan eksplorasi, seharusnya jarak 50 meter dari bibir pantai mesti memiliki Amdal. Selanjutnya dilakukan pengkajian tentang keberlangsungan hidup masyarakat pesisir dan lingkungan jika lokasi tersebut betul-betul akan dikelolah. Namun, sangat disayangkan bahwa daerah yang telah dipatok sesuai aturan, justru dapat dengan mudah dipindahkan seenaknya saja.”

Musmahendra juga menegaskan arti penting “zonasi” di lingkungan pesisir, “Pemetaan lingkungan dilakukan sebelum eksploitasi dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan tersebut.”

M. Basri selaku utusan media, fokus pada masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir menjadi bagian dari masyarakat secara universal, namun perbedaan letak geografis pada akhirnya melahirkan kultur yang berbeda, “Perlakuan berbeda mesti diberikan kepada masyarakat pesisir, bukan penyetaraan pahaman dengan masyarakat yang lain.”

Basri berharap media mampu mendorong khususnya NGO untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Menurutnya, seluruh media mesti terjun langsung dalam kegiatan masyarakat pesisir, apalagi jika ada pihak lain, baik dari pemerintah maupun NGO, agar kiranya meyiarkan berita tersebut. Sehingga mampu merangsang kinerja dari masyarakat pesisir di daerah yang lain.

Berbeda dengan Taufik Kasaming yang secara blak-blakan mengutarakan pendapatnya, “Ketika berbicara tentang pemanasan global berarti erat kaitannya dengan ruang. Alam atau lingkungan pesisir yang merupakan ruang dijadikan sebagai obyek bagi beberapa pihak, sehingga ruang tersebut pada akhirnya dikalahkan dengan uang.”

Ego yang terpelihara serta peran pemerintah yang lemah pada akhirnya justru semakin memperluas memperparah kondisi lingkungan pesisir. Taufik juga menawarkan konsep nasionalisme lingkungan dan manajemen ruang pada kesempatan itu.

Erat kaitannya dengan pemerintah, menurutnya, “Pemerintah mestinya membuat kebijakan yang pro terhadap lingkungan dan berpolitik dengan praktek cerdas.”

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,