WATER MANAGEMENT FOR FOREST PLANTATION IN TROPICAL PEATLANDS HASIL RISET TIM MRV DI PT. RAPP TERBANTAHKAN AKIBAT KARHUTLA RIAU

Irsadi Aristora[1]

WATER MANAGEMENT FOR FOREST PLANTATION IN TROPICAL PEATLANDS HASIL RISET TIM MRV DI PT. RAPP TERBANTAHKAN AKIBAT KARHUTLA RIAU

WATER MANAGEMENT FOR FOREST PLANTATION IN TROPICAL PEATLANDS, Premier Hotel , 13 Feb 2014

Pada Tanggal 13 Februari 2014 tepat nya di Hotel Premier, April Group melaksanakan “ Ekspose Hasil Pelaksanan Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) Pengelolaan Ekohidro yang Dilaksanakan oleh IUPHHK-HTI PT. Riau Andalan Pulp Paper di Semenajung Kampar” dengan Tim peneliti yaitu Prof. Dr. Budi Indra Setiawan dari Dep. Teknik Sipil dan Lingkungan FATETA- IPB dengan judul yang dipaparkan Water Management For Forest Plantation In Tropical Peatlands. Beliau ahli Fisika Tanah dan Hidrologi dari IPB bersama tim MRV Dr. Basuki Sumawinata, Dr. Darsono/Sukaesih, Dr. Wawan, Prof. Dr. Muhajir Utomo, Kepala BLH Prov, Riau dan Kepala BP2HP Wilayah III Pekanbaru.

Dalam pemaparannya para Tim MRV telah melaksanakan sejak 2010 dengan pelaksanaan dilaksanakan 6 (enam) bulan sekali berdasarkan SK. Menhut RI No. 259/Menhut-IV/2010 (perubahan) Tangal 8 Juni 2011. Tim ini bertanggung jawab dan melaporkan hasil nya kepada Menhut melalui Dirjend BUK Kemenhut. Hasil yang dipaparkan dalam slide persentasi menjelaskan :

PENGELOLAAN EKOHIDRO

• Pengelolaan air di lahan gambut berdasarkan pada sistem zonasi lahan terpadu yang bertujuan untuk menjaga kelembaban gambut agar:

1. Pertumbuhan tanaman optimal;

2. Gambut tidak mudah terbakar;

3. Subsidensi gambut terkendali;

4. Emisi karbon dapat ditoleransi.

• Menjaga muka air tanah (water table) pada kisaran yang tepat di Kawasan Lindung, Penyangga, Tanaman Pokok dan Tanaman Kehidupan.

• Penggunaan dam dan parit sisir untuk mengatur tinggi air (water level) dan laju drainase di saluran.

 

Dalam pemaparan yang lain pada Training On: Water Management For Forest Plantation In Tropical Peatlands dengan judul “ Kepentingan Lahan Gambut[2] “ menjelaskan bahwa kegiatan ini memiliki kepentingan pengembangan lahan gambut untuk :

1. Menjaga keamanan kawasan.

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sementara Kepentingan pengelolaan air di lahan gambut berguna untuk:

1. Meningkatkan aksesibilitas.

2. Memperlancar transportasi.

3. Menanggulangi kebakaran hutan.

4. Menjaga keanekaragaman hayati.

5. Meningkatkan produktivitas lahan.

6. Menurunkan emisi karbon.

Pada halaman berikutnya persentasi nya menjelaskan bahwa Kompetensi Water Managemen bertujuan[3] untuk:

1. Mengetahui faktor-faktor berpengaruh terhadap terhadap pertumbuhan tanaman.

2. Mengetahui kelembaban tanah yang ideal bagi pertumbuhan tanaman.

3. Mampu mengkondisikan kelembaban tanah yang ideal bagi pertumbuhan tanaman.

4. Mampu mengatasi permasalahan air (kebanjiran + kekeringan) yang berakibat buruk bagi pertumbuhan tanaman.

5. Mampu mengelola tata air secara keseluruhan.

Dari penjelasan tersebut diatas, karhutla yang terjadi sejak Juli 2013 yang lalu dan kembali lagi terjadi sejak Februari 2014 sekarang ternyata tidak mampu menujukan fungsi dan tujuan dari Water Managemen seperti yang dijelaskan secara rinci dalam acara di Hotel Premier 13 Februari 2014 lalu. Terutama dilihat dari tujuan Water Managemen system terpadu yaitu menjaga kelembaban gambut agar tidak mudah terbakar, menjaga kemanan kawasan serta kepentingan pengelolaan dilahan gambut untuk menanggulangi kebakaran hutan dan lahan HTI. Muncul pikiran negative setiap orang yang hadir pada acara tersebut bahwa ada kepentingan akademisi dan dephut yang ikut melegalkan kegiatan perhutanan didalam kawasan gambut yang jelas-jelas bahwa dalam lebih dari 3 (tiga) meter adalah daerah kawasan lindung.

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional ditetapkan melalui PP No. 47 tahun 1997 dan diganti oleh PP No. 26 tahun 2008. Pada kedua PP ini arahan perizinan pada umumnya hampir sama dimana pada PP No. 47 tahun 1997 dijelaskan pada pasal Pasal 44 yang berbunyi “Kriteria kawasan budi daya merupakan ukuran yang digunakan untuk penentuan suatu kawasan yang ditetapkan untuk berbagai usaha dan/atau kegiatan dan yang dibagi dalam: a. criteria teknis sektoral, yaitu ukuran untuk menentukan bahwa pemanfaatan ruang untuk suatu kegiatan dalam kawasan memenuhi ketentuan-ketentuan teknis, daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, kesesuaian ruang, dan bebas bencana; “ sementara itu Kriteria tehnis sektoral dijelaskan dalam PP No. 7 tahun 1990 dalam pasal 5 ayat 1” Areal hutan yang dapat diusahakan sebagai areal HTI adalah kawasan hutan produksi tetap yang tidak Produktif” dan ayat 2 “Menteri menetapkan lokasi areal hutan untuk pembangunan HTI” di sisi lain kawasan bergambut masuk kategori kawasan lindung sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 33 ayat (2)” ……..yaitu kawasan tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.[4]

Kriteria yang sama ditegaskan kembali dalam PP No. 26 tahun 2008 sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Pasal 64 ayat Ayat (1) Huruf b “ Yang dimaksud dengan “kawasan hutan produksi tetap”adalah kawasan hutan yang secara ruang digunakan untuk budi daya hutan alam dan hutan tanaman.” Disamping itu kawasan bergambut ditetapkan sebagai kawasan lindung sebagaimana dijelaskan dalam pasal Pasal 52 ayat (1) “Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya terdiri atas: a. kawasan hutan lindung; b. kawasan bergambut; dan c. kawasan resapan air” dan Pasal 55 ayat (2) “Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa.[5]Lebih jelas lagi Lampiran VII PP 26 tahun 2008 menggambarkan Peta Pola Ruang wilayah nasional yang menjelaskan tentang kawasan lindung dan kawasan budidaya.

Dari kriteria yang diatur baik dalam PP 47 tahun 1997 dan PP 26 tahun 2008 dapat dilihat bahwa kawasan yang dapat diberikan izin HTI adalah kawasan hutan produksi dan tidak berada pada kawasan bergambut dengan kedalaman 3 meter atau lebih. Analisis perizinan terhadap RTRWN dilakukan terhadap izin yang dikeluarkan setelah tanggal 30 Desember 1997 dengan meng overlay perizinan HTI dengan kawasan hutan produksi tetap dan kawasan bergambut dengan kedalaman lebih dari 4 m. Data Wetland International mengklasifikasikan kawasan bergambut berdasarkan beberapa kategori yaitu: Gambut dengan kedalaman 0 sampai 0,5 m, Gambut dengan kedalaman 0,5 m sampai 1 m, Gambut dengan kedalaman 1 sampai 2 m, Gambut dengan kedalaman 2 sampai 4 m, Gambut dengan kedalaman lebih dari 4 m. Karena tidak tersedia data kedalaman gambut pada kedalaman 3 m atau lebih maka digunakan data kedalaman gambut lebih dari 4m untuk kebutuhan analisis.

Dari hasil analisis perizinan terhadap kedalaman gambut yang lebih dari 4 m ditemukan 39% dari total izin yang berada pada kawasan bergambut yang harus dilindungi, sedangkan sisanya 61% dari izin berada pada kawasan gambut dangkal dan tanah mineral. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Perlindungan kawasan bergambut ditetapkan pada tanggal 25 juli tahun 1990 dengan kepres no 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung, yang kemudian diperkuat dalam PP no 47 tahun 1997 jo PP no 26 tahun 2008 tentang rencana tata ruang wilayah nasional. Selain regulasi kehutanan seharusnya izin HTI tidak diberikan pada kawasan bergambut dengan kedalaman 3 m atau lebih.

Dephut sendiri dalam mengeluarkan SK izin kepada pengusaha hutan melanggar aturan yang telah mereka tetapkan sendiri. Hal ini dapat dilihat secara rinci dari permenhut tentang pengukuhan kawasan hutan. Salah satu contoh yang dapat kita lihat secara jelas dalam Permenhut No. P.50/Menhut-II/2011, tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Bab II “ Pengukuhan Kawasan Hutan “ dalam Pasal 4 ayat (1) Penunjukan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a meliputi:

a. wilayah provinsi; dan

b. wilayah tertentu secara partial.

 

Pembantahan Pengelolan Ekohidro Sistem Zonasi Terpadu Studi Kasus Karhutla Riau

A. Beberapa point utama dari tujuan penjelasan MRV yang dijelaskan dalam acara sosialisai hasil kerja Tim MRV yang di sampaikan oleh Prof. Dr. Budi Indra Setiawan tidak dapat dibuktikan dalam kasus Karhutla. Dengan kata lain Water Manajemen dalam kawasan gambut dengan system ekohidro GAGAL dengan sendirinya. Tidak dapat dibuktikan bahwa Pengelolaan air di lahan gambut berdasarkan pada sistem zonasi lahan terpadu yang bertujuan untuk menjaga kelembaban gambut agar:

1. Pertumbuhan tanaman optimal;

2. Gambut tidak mudah terbakar;

3. Subsidensi gambut terkendali;

4. Emisi karbon dapat ditoleransi.

A. 1. Terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 2013 dan 2014, pengelolaan air dilahan gambut justru mengeringkan lapisan atas gambut sehingga gambut akan sangat mudah terbakar. Subsidensi gambut tidak dapat terkendali serta akibat kebakaran terjadi pelepasan karbon secara besar-besaran yang tak dapat ditoleransikan.

A. 2. Hanya Point 1 saja yang dapat diuntungkan bagi perusahan HTI.

 

B. Water Management For Forest Plantation In Tropical Peatlands dengan judul “ Kepentingan Lahan Gambut “ menjelaskan bahwa kegiatan ini memiliki kepentingan pengembangan lahan gambut untuk :

1. Menjaga keamanan kawasan.

2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

B. 1. Terjadinya bencana kebakaran lahan hingga masyarakat tidak merasa aman tinggal berada dalam kawasan maupun diluar kawasan. Saat kebakaran lahan banyak sekali masyarakat mengungsi dan pindah sementara waktu demi keamanan.

B. 2. Tidak ditemukan peningkatan kesejahteraan masyarakat, justru sebaliknya kegiatan Water Managemen meningkatkan kesejahteraan perusahaan semata.

 

C. Kepentingan pengelolaan air di lahan gambut berguna untuk:

1. Meningkatkan aksesibilitas.

2. Memperlancar transportasi.

3. Menanggulangi kebakaran hutan.

4. Menjaga keanekaragaman hayati.

5. Meningkatkan produktivitas lahan.

6. Menurunkan emisi karbon.

C. 1. Keperntingan pengelolaan air dilahan gambut menutup aksesibilitas perusahaan dengan masyarakat tempatan dan sekitar kawasan serta menutup aksesibilitas satwa.

C. 2. Poin 2 ini saja yang menguntungkan bagi perusahaan terhadap mobilitas produksi hasil.

C. 3. Sama sekali tidak menanggulangi kebakaran hutan dan lahan yang berada dalam kawasan perusahaan sendiri, apalagi yang berada dilahan masyarakat sekitar kawasan HTI milik perusahaan.

C. 4. Canal yang dibangun perusahaan dalam studi MRV justru merusak rantai kehidupan khususnya keanekaragaman hayati. Terutama terhadap aktifitas pembersihan lahan dan pergantian tanaman polyculture dengan monoculture.

C. 5. Poin ini sangat jelas keuntungan bagi perusahan saja.

C. 6. Akibat kebakaran lahan justru meningkatkan emisi karbon yang terjadi saat ini.

Bukti-bukti yang dapat kita petik adalah MRV hanya dilakukan sesuai dengan petunjuk dan arahan dari proyeksi perusahaan saja. Nilai-Nilai materi dikedepankan dari pada nilai-nilai akademis oleh sebuah lembaga pendidikan ternama di negeri ini. Sangat disayangkan bahwa intelektual dapat dibayar dengan materi untuk sebuah melegalkan praktek illegal dari perusahaan HTI yang ada dinegara ini yang jelas-jelas telah melakukan banyak pelangaran dari awal hingga akhir. Tujuan dari kajian MRV yang dihasilkan sangat tidak sesuai dengan fakta dan bukti disaat karhutla terjadi. Dengan kata lain hasil MRV yang dilaksanakan di areal PT. RAPP BATAL/GAGAL hasil yang dilaksanakan dan tidak sesuai dengan peruntukan serta tujuan dilaksanakan Water Management For Forest Plantation In Tropical Peatlands.

Perusahaan HTI dan HGU yang ada di Provinsi Riau melanggar dan mengabaikan Peraturan Daerah Provinsi Riau No. 6 Tahun 2012 Tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Provinsi Riau. Pada Pasal 4 yang berbunyi “Tujuan umum program TJSP adalah untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan kelestarian lingkungan yang bermanfaat bagi Perusahaan sendiri, komunitas setempat, maupun pada masyarakat umum secara efektif dan efisien”. Dan juga mengabaikan Pasal 13 yang berbunyi “Bidang kerja TJSP dalam Kesehatan dapat berbentuk bantuan pelayanan kesehatan, fasilitas penunjang kesehatan, peningkatan sumberdaya kesehatan yang dapat diberikan dalam bentuk dana dan/atau barang guna meningkatkan kesehatan masyarakat “. Hingga kebakaran dapat dipadamkan apakah Tanggung jawab Sosial Perusahaan akibat dari kebakaran lahan dari kawasan mereka yang berimbas kepada terganggunnya kesehatan masyarakat sudah dipenuhi berdasarkan Perdan tersebut, belum lagi dilihat pada Pasal 11 ayat (1) Bidang Kerja TJSP antara lain:

a. Pendidikan;

b. Kesehatan;

c. Infrastruktur;

d. Olah raga dan seni budaya;

e. Sosial dan Keagamaan;

f. Pelestarian lingkungan hidup;

g. Usaha Ekonomi Kerakyatan;

h. Pemberdayaan Masyarakat Adat; dan

i. Bidang kerja lainnya yang secara nyata memberikan dampak

peningkatan kualitas masyarakat.

Mari kita lihat sejauh mana peran perusahan bertanggung jawab sesuai dengan Perda tersebut akibat kebakaran lahan bagi kesehatan masyarkat di Riau hingga kebakaran lahan ini selesai dipadamkan !

 

[1] Pemerhati Lingkungan Hidup dan Satwa.

[2] Budi Indra Setiawan, Training On : Water Management For Forest Plantation In Tropical Peatlands, 2012. Halaman 5.

[3] Ibid, Halaman 6.

[4] Susanto Kurniawan,dkk. Korupsi Perizinan Kehutanan Kasus Riau, Halaman 52.

[5] Ibid., Halaman 53.

Artikel yang diterbitkan oleh