#KompetisiPenulisan Mengupas Permasalahan Banjir di Kota Padang

Menjelang akhir bulan April tahun ini, Kota Padang semakin sering diguyur hujan. Hujan seharusnya mendatangkan anugerah namun sejak beberapa tahun terakhir, titik-titik air yang berjatuhan dari langit ini membuat masyarakat gundah dan resah. Pasalnya, setiap hujan turun, masyarakat harus waspada dengan kehadiran genangan air, baik di rumah maupun di ruas jalan.

Seperti dilansir dari Sindonews.com, derasnya hujan mengakibatkan terendamnya sejumlah kawasan di Kecamatan Padang Barat dan Padang Selatan pada 4 November 2013 lalu. Hal tersebut terjadi akibat melimpahnya air dari dalam got. Beberapa minggu setelahnya, giliran kawasan Aie Pacah, Kototangah dan Lubuk Lintah yang merasakan terjangan banjir. Kecilnya saluran pembuangan air (drainase) di tempat tersebut tak mampu menampung curahan hujan yang turun sejak (27/12) sore hingga (28/12). Akibatnya, air pun melimpah dari parit.

Tidak hanya merendam rumah warga, genangan air yang terbentuk usai turunnya hujan juga turut menghambat aktivitas lalu lintas. Hal ini terjadi di sejumlah ruas jalan, diantaranya Siteba, Lapai, Gunung Pangilun, Maransi, Kalumbuk, Khatib Sulaiman dan Simpang Kalumpang. Jalan menjadi macet dan sejumlah kendaraan mogok akibat air masuk ke dalam mesinnya. Tak berhenti sampai disitu, Padang Ekspress mewartakan pada (30/12/2013), banjir juga mengakibatkan pasien di RSUD dr. Rasyidin, Padang harus dievakuasi setelah air menggenangi gedung tempat merawat orang sakit tersebut.

Derita banjir yang melekat pada ibukota Provinsi Sumatera Barat ini telah berlangsung sejak lama. Anehnya, hingga saat ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Padang belum juga mampu mengatasinya. Memang, secara geografis, curah hujan di Kota Padang terbilang tinggi. Salah satunya disebabkan kenyataan bahwa Kota Padang termasuk bagian daerah tropis di Indonesia. Selain itu, pemanasan global yang terjadi di seluruh dunia juga turut mempengaruhi iklim di berbagai wilayah. Tak terkecuali, Kota Padang. Perubahan iklim mengakibatkan turunnya hujan sulit diprediksi dan intensitasnya juga menjadi lebih tinggi.

Air yang turun dalam jumlah banyak saat hujan tidak serta merta langsung menyebabkan banjir. Tak bisa dipungkiri, sistem drainase yang baik berperan penting dalam melindungi kota dari ancaman banjir. Kota menjadi bagian hulu drainase, sedangkan sungai maupun laut di sekitar kota menjadi bagian hilir tempat penyaluran akhir air. Dengan demikian, drainase mampu melayani pembuangan kelebihan air. Tidak hanya air hujan, tetapi juga air limbah industri maupun air limbah rumah tangga dari suatu kota. Namun, hampir sebagian besar ukuran saluran air di Kota Padang tidak ideal untuk menyalurkan seluruh kelebihan air.

Apalagi sejak gempa mengguncang Kota Padang pada September 2009 silam, kapasitas drainase semakin tak memadai akibat adanya kerusakan fisik di sejumlah saluran air. Daerah yang dilalui saluran air yang rusak maupun saluran berukuran kecil itu pun tak pelak menjadi rawan banjir. Ditambah lagi, ada saluran yang tersumbat karena endapan lumpur dan tumpukan sampah. Sampah yang menumpuk di sungai dan di selokan menggambarkan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam menjaga keasrian lingkungan. Semua itu semakin memperburuk kemampuan penyaluran air.

Melihat eratnya kaitan antara pengendalian banjir dan drainase yang memadai, seharusnya Pemkot mengambil langkah nyata. Misalnya memperbaiki saluran air yang rusak atau menambah pembangunan infrastruktur drainase. Dalam sejumlah pemberitaan, pihak Pemkot melalui Dinas Pekerjaan Umum telah memulai langkah pengendalian banjir. Namun, itu hanya sebatas perbaikan drainase dan pengerukan saluran air yang tersumbat. Untuk membangun saluran air yang baru, Pemkot terkendala tingginya biaya dan tidak adanya lahan untuk pembangunan. Bahkan, anggaran dana yang tersedia saja belum cukup bila digunakan untuk perbaikan drainase secara total.

Di satu sisi, Pemkot berasalan terkendala oleh minimnya dana. Tetapi, seolah tak ada koordinasi, di sisi lain pihak DPRD setempat justru menyenandungkan bahwa minimnya anggaran tersebut disebabkan tidak jelasnya laporan kebutuhan dana dari Pemkot terkait pembiayaan drainase. Sungguh disayangkan, pihak pejabat daerah seolah saling lempar tanggung jawab dan terkesan tidak serius dalam mengatasi persoalan banjir di kota ini.

Buruknya tata kelola drainase di Kota Padang tentu membutuhkan rehabilitasi besar-besaran, terutama dari segi dana. Melihat hal diatas, eksekutif dan legislatif Kota Padang secepatnya harus membahas langkah strategis dalam pengendalian banjir dan menyesuaikannya agar dana tak lagi menjadi kendala. Kedua pihak tersebut kini harus meletakkan penyelesaian masalah banjir sebagai prioritas utama. Karena selama ini, pemerintah seolah mengabaikan masalah ini. Bahkan, Peraturan daerah (Perda) tentang pengelolaan lingkungan hidup di Kota Padang belum juga dirumuskan. Sehingga, penanganan masalah lingkungan belum bisa dilakukan secara tegas.

Sebenarnya ada alternatif penyaluran kelebihan air secara alami, yaitu melalui daerah resapan air. Daerah ini merupakan suatu kawasan yang terdiri dari lahan yang tertutupi tanah dan pepohonan. Kelebihan air, misalnya air hujan ketika jatuh ke tanah akan meresap ke dalamnya. Kemudian, sebagian air tersebut akan diserap oleh akar pepohonan dan tanaman. Sebagian lagi akan disimpan sebagai air tanah atau dialirkan di bawah permukaan tanah sebagai bagian dari siklus air.

Daerah resapan air akan semakin banyak seiring dengan semakin hijaunya suatu wilayah. Akan tetapi, alternatif penyaluran kelebihan air dengan cara ini tampaknya tak juga bisa diberlakukan secara efektif untuk Kota Padang. Alasannya, menurut Fauzi Bahar, Walikota Padang periode 2009-2013, sekitar 50 % wilayah kota telah tertutupi oleh bangunan. Artinya, ketersediaan daerah resapan air telah berkurang sejalan dengan meningkatnya pembangunan kota.

Sungguh suatu hal yang sangat disayangkan ketika aspek kelestarian lingkungan tidak ikut dipertimbangkan dalam proses pembangunan kota. Bersama-sama, pemerintah dan masyarakat setempat harus bangkit dan berbenah demi menanggulangi ancaman banjir yang terus menghantui kota tiap hujan deras mendera.

Langkah awal usaha bersinergi antara pemerintah dan masyarakat dapat dimulai dari perawatan bersama drainase. Pemerintah mengupayakan perbaikan saluran yang rusak dan pengerukan drainase untuk saluran yang besar. Sementara itu, masyarakat membantu perawatan drainase yang ada di lingkungan sekitarnya. Gotong royong secara berkala dapat dilakukan untuk menjamin selokan bebas dari sumbatan sehingga jika hujan turun dengan deras, air dapat mengalir dengan baik.

Selanjutnya, maksimalisasi pengendalian banjir di Kota Padang dapat ditingkatkan dengan melakukan penghijauan. Mulai dari pemukiman warga, pemerintah harus menegaskan agar mereka menanami lahan pekarangan rumahnya dengan tanaman sebagai bentuk daerah resapan air berskala kecil. Lingkungan perkantoran, sekolah maupun perguruan tinggi juga harus melakukan hal yang sama. Kemudian, apabila ada pembangunan gedung baru, pemerintah harus membuat syarat ketersediaan lahan hijau di pekarangannya sehingga pembangunan yang dilakukan tak mengabaikan keindahan lingkungan.

Selain itu, pembuatan sumur resapan atau resapan biopori yang memiliki kesamaan fungsi dengan daerah resapan air juga bisa meningkatkan kemampuan penyaluran air secara alami. Hal ini dapat dilaksanan melalui peran aktif masyarakat dan pemberian fasilitas dari pemerintah.

Seluruh hal diatas belum bisa berjalan dengan baik jika tidak dilaksanakan secara tegas. Satu- satunya cara untuk menegaskan secara resmi pengelolaan lingkungan hidup bagi masyarakat Kota Padang hanya bisa dicapai dengan adanya suatu peraturan. Secepatnya, DPRD setempat harus segera menelurkan Perda tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup beserta sanksi bagi pelaku perusakan lingkungan. Mereka harus ditindak tegas agar perilaku tersebut tidak terus melekat dalam keseharian masyarakat.

Nantinya, jika Perda sudah ada, pemerintah juga harus menjadi teladan dalam masyarakat. Sudah bukan zamannya lagi mengikuti pemeo aturan ada untuk dilanggar. Jangan sampai pemerintah justru menjadi pelaku perusakan lingkungan, misalnya dengan membiarkan pembalakan liar tidak ditindak dengan tegas seperti kasus-kasus yang terjadi di daerah lain. Bila hal ini terjadi, masyarakat akan menjadi tidak percaya dengan pemerintah, bahkan enggan untuk menyambut ajakan menjaga kelestarian lingkungan.

Kesadaran dan kecintaan terhadap lingkungan juga penting untuk dipupuk dan dipelihara sejak dini. Salah satunya dapat dilakukan dengan menggunakan media, baik cetak maupun elektronik. Misalnya melalui komik, lagu, atau film yang berorientasi pada pentingnya menjaga lingkungan hidup sehingga secara tidak langsung masyarakat terbiasa dan terdoktrin untuk menjaga lingkungannya.

 

Oleh : Suhelnida Eka Putri

Penulis merupakan mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Andalas, Padang.

Email : [email protected]

Twitter : @suhelnida_putri

 

 

 

Referensi :

http://www.mongabay.co.id/2014/04/07/ayoo-pilih-wakil-rakyat-peduli-lingkungan-ham-dan-anti-korupsi/

http://www.mongabay.co.id/2013/12/26/tata-kota-buruk-banjir-rendam-makassar/

 

Artikel yang diterbitkan oleh