,

Agroforestry menjadi Metode Rehabilitasi Lahan Pertanian di Garut

Dalam satu dekade terakhir para petani di Desa Sindangsari Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut mengalami penurunan dalam produksi pertanian mereka. Padahal dulu wilayah ini terkenal dengan penghasil produk holtikultura berkualitas yang didistribusikan ke kota-kota besar di pulau jawa. Pada tahun 2000-an wilayah perbatasan Garut-Tasikmalaya ini terkenal sebagai sentra penghasil jahe “gajah”. Namun kini wilayah Desa Sindangsari mengalami kerusakan lahan akibat pengalihan lahan pertanian menjadi tempat industri pembuatan batu-bata.

Pada beberapa tahun terakhir, akibat meledaknya pembangunan perumahan di wilayah Bandung dan Jabodetabek, membuat munculnya industri pembuatan batu bata di Desa Sindangsari. Dalam proses produksi batu bata tersebut, diperlukan tanah lapisan atas yang cukup gembur untuk menghasilkan batu bata sesuai standar industri perumahan. Para pelaku industri batu bata mencari para pemilik lahan pertanian disana untuk menyewakan dan menjual tanah lapisan atas pada lahan pertanian mereka.

Akibat industri batu bata di Desa Sindangsari berpotensi terjadi erosi sedimen dan lahan pertanian menjadi kritis.
Akibat industri batu bata di Desa Sindangsari berpotensi terjadi erosi sedimen dan lahan pertanian menjadi kritis. Foto: Adiel Luckman

Pertumbuhan populasi dan ekonomi selama tiga dekade terakhir mendorong banyak peternak untuk berganti profesi menjadi pembuat batu bata dan genteng. Menteri Pertanian baru-baru ini menyatakan kepada media bahwa pulau Jawa telah kehilangan 600.000 hektar lanah sebagai akibat dari fenomena kompleks perumahan dan industri terkait selama empat tahun terakhir. Pulau ini memiliki 3.5 juta hektar lahan lain tanam yang tersisa, menurun dari 4.1 di tahun 2007. Produksi batu bata dan genteng tidak hanya menghabiskan lapisan teratas tanah yang mengurangi produktivitas lahan di masa mendatang. Produksi ini juga menyebabkan erosi –masalah besar di wilayah dengan curah hujan tinggi. Beberapa pihak melaporkan bahwa biaya rehabilitasi dan mengganti lahan yang hilang tersebut akan mencapai Rp 7.3 triliun.

Dorongan kondisi ekonomi keluarga membuat para petani pemilik lahan di Desa Sindangsari, menyewakan dan menjual tanah lapisan atas pada lahan pertanian mereka. Para petani pemilik lahan tersebut hanya mendapat imbalan ekonomis berupa uang pengganti sesuai luas lahan mereka, yang sangat tidak sebanding dengan resiko kehilangan lahan yang subur untuk jangka waktu yang cukup lama. Lapisan tanah bagian atas yang subur pada lahan pertanian mereka telah hilang, yang berakibat menurunnya produktivitas lahan pertanian yang mereka miliki.

Setelah industri batu bata mengeruk tanah lapisan atas dengan kedalaman rata-rata satu setengah meter, para petani pemilik lahan mendapati lahan mereka menjadi keras dan tidak subur lagi. Selain itu, mereka juga terancam erosi lahan karena tingginya curah hujan dan kontur lahan yang umumnya miring. Para petani pemilik lahan umumnya tidak mengetahui cara efektif untuk mengembalikan kesuburan lahan, selain menanaminya kembali.

Prihatin melihat kondisi diatas, adalah seorang Anton Abdul Fatah (28) dan remaja Sindang Sari merintis pendekatan Agrohutan yang memulihkan kesuburan lahan dengan menyuntikkan kompos yang dibuat dari limbah pertanian dan hewani. Pendekatan agrohutan ini mengggunakan penanaman pohon-pohon pisang dan Albasiah (Albizzia Falcata) sebagai pengikat tanah. Hal ini dilakukan dengan pola tumpang sari, dengan mengkombinasikan tanaman kacang yang sangat produktif dan mampu memulihkan kondisi tanah dengan kemampuan pohon Albasia untuk mengurangi erosi lahan.

“Pengusaha batu-bata mengeruk keuntungan besar dari sewa lahan. Hanya dengan sewa Rp 70.000 per 14 meter persegi per tahun, mereka bisa menghasilkan batu bata dalam jumlah banyak. Sedangkan si petani gak sadar, paska eksploitasi tanahnya mereka tidak dapat bercocok tanam secara langsung,” ungkap Anton.

Sejak tahun 2009, Anton memberdayakan petani Desa Sindangsari untuk melakukan reklamasi lahan dengan metode Agroforestry. Agroforestry artinya menanami lahan dengan tanaman yang mampu mengikat nitrogen (agro), seperti kacang tanah, jagung, dan ubi. Selain itu, bisa juga dengan menanam pohon keras sehingga bisa mengeraskan tanah.

Menurut Anton kelebihan metode agroforestry ialah mampu memulihkan lahan pertanian yang telah terdegradasi dalam waktu yang relatif singkat. Selain itu keuntungan lainnya adalah tanaman besar seperti pohon albasiah dan pohon pisang dapat dijadikan alternatif penghasilan jangka menengah untuk petani selain sebagai pengikat tanah penahan erosi sedimen.

Saat reklamasi ini, tanah juga perlu diinjeksi dengan pupuk kompos. Anton pun memberi edukasi kepada warga untuk membuat pupuk kompos sendiri agar biayanya lebih murah. Ia juga mengajak warga berinvestasi dengan menanam pohon. Untuk itu, ia membagikan bibit pohon albasia secara gratis. Ia meminta warga menanam pohon itu. “Saya mengedukasi petani bahwa menanam pohon bisa menjadi alternatif lain selain menyewakan lahan,” ujar Anton.

Ia berjanji akan membeli pohon albasia itu dengan harga Rp 300.000 per batang saat sudah berusia lima tahun. Kebetulan, keluarga Anton bergerak di usaha jual beli kayu dan material. Anton telah membagikan 4.000 pohon diawal proyek agroforestry pada 2009. Tahun lalu, ia juga membagikan 30.000 bibit pohon lagi.

Menurutnya, tak masalah jika petani menanam pohon albasia bukan dari dia. “Yang penting sama-sama menyuburkan lahan,” ujarnya.

Proyek Agroforestry tidak hanya berorientasi pada lingkungan berupa mengembalikan kondisi kesuburan lahan yang rusak, tetapi mengandung unsur edukasi massa.

“Edukasi yang kami maksud adalah pelatihan langsung di lapangan tentang cara memanfaatkan limbah ternak dan limbah jerami sebagai kompos kepada para petani. Selain itu, kami juga mengedukasi petani mengenai perencanaan keuangan (investasi) khususnya bagi para pemilik lahan dengan tanaman keras produksi.” tambah Anton.

Diharapkan dengan adanya pengetahuan investasi jangka menengah, petani pemilik lahan tidak lagi menghadapi kesulitan finansial bila ada kebutuhan di luar kebutuhan primer, seperti menyekolahkan anak atau kebutuhan lainnya. Saat ini, warga Desa Sindangsari sudah kembali bertani karena lahan sudah mulai lebih baik meski belum sesubur puluhan tahun lalu.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , ,