Jika tak ada aral melintang, maka pekerjaan konstruksi awal alias groun breaking proyek tanggul laut raksasa atau Giant Sea Wall (GSW) akan dilaksanakan pada hari ini, Kamis (9/10). Tanggul laut raksasa itu akan dibangun oleh pemprov DKI Jakarta sepanjang 32 kilometer sebagai pengendali banjir rob (pasang naik air laut). Pembangunan yang akan dimulai ini adalah tanggul tipe A (Phase A) yang akan dibangun mengikuti garis pantai persis di pinggir pantai.
Sementara untuk rencana tipe B sendiri adalah pembangunan tanggul laut yang berada dilepas pantai dimana ditengahnya terdapat 17 pulau buatan hasil reklamasi. Keseluruhan rencana pembangunan tersebut itulah yang dinamakan sebagai proyek NCICD (National Capital Integrated Coastal Development), yang sebelumnya bernama proyek JCDS (Jakarta Coastal Development/Defence Strategies).
Rencana pembangunan GSW ini mengundang banyak kritik dari para aktivis lingkungan. Sekertaris Jenderal Koalisi Perkotaan Jakarta (Jakarta Urban Coalition) Ubaidillah, menyampaikan, masalah teluk Jakarta bukan cuma banjir rob masalah sehingga GSW bukanlah solusi.
“Banjir rob hanya salah satu konsekuensi yang terjadi atas kesemrawutan dalam tata kelola sumberdaya dan penataan ruang kawasan pesisir Jakarta,” kata Ubaidillah dalam siaran pers yang diterima Gresnews.com, Kamis (9/10).
Selain rob masalah lain yang dimaksud Ubai adalah fenomena perubahan iklim, kenaikan muka air laut, abrasi pantai, sampah dan limbah, intrusi air laut, penurunan tanah, serta hancurnya ekosistem pantai laut. Selain itu ada juga problem sosial seperti maraknya pemukiman kumuh, krisis air bersih, kandungan logam berat yang terdapat pada tangkapan ikan dan budidaya kerang nelayan teradisional, hingga ancaman hilangnya cagar budaya dan situs sejarah.
Ubaidillah yang juga Dewan Daerah WALHI Jakarta itu mengatakan banyaknya persoalan tersebut disebabkan oleh karena tata kelola kawasan pesisir Jakarta mengabaikan daya dukung lingkungan dan peruntukan ruang yang tidak adil. “Dimana jika diperhatikan faktanya panjang pantai Jakarta sepanjang 32 km yang membentang dari barat ujung Kamal Muara Penjaringan hingga ke timur ujung Cilincing, ruang lahan lebih didominasi oleh pusat industri, pelabuhan, tempat rekreasi komersil dan hunian eksklusif (superblok),” ujarnya menambahkan.
Jakarta, kata dia, tidak lagi memiliki pantai publik gratis, yang pada hakikatnya pantai adalah milik publik dan hanya menyisakan sedikit lahan konservasi hutan mangrove/bakau yang terletak di bagian barat pantai. Hutan mangrove dimaksud ada di dua area, area pertama seluas 25 hektar di Muara Angke dan area kedua 90 hektar di Pantai Indah Kapuk yang dikelola oleh Suaka Margasatwa BKSDA.
Karenanya menurut Ubaidillah, diperlukan kemauan politik yang kuat dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat, sebagai solusi dalam upaya pemulihan pantai secara keseluruhan dengan proyeksi peruntukan ruang yang proporsional bagi kebutuhan konservasi. Kebutuhan konservasi dan restorasi pantai itulah yang akan menstabilkan lahan dari abrasi, meminimalisir penurunan tanah, mencegah semakin jauhnya intrusi air laut, menahan gelombang pasang rob, menetralisir pencemaran dan sebagai muara sumber air baku, tempat tumbuh kembang kehidupan biaota, serta akan melestarikan kehidupan kearifan lokal.
Sementara di daratan Jakarta, pemulihan badan-badan air seperti 13 sungai, 48 situ dan 2 kanal, drainase dan saluran mikro, mutlak harus direalisasikan dan dipastikan harus bebas dari limbah, sampah dan sedimentasi berlebih. Sanksi tegas juga mesti diterapkan terhadap masyarakat atau penanggungjawab usaha yang mencemari sungai seperti pencemaran sungai kalimalang pada September 2014 lalu yang notabene berfungsi sebagai sumber air baku untuk minum.
Garis simpadan sungai, situ, maupun pesisir juga harus dipenuhi, bukan hanya menggusur warga di bantaran sungai tanpa solusi dan diskriminatif. “Tetapi juga membongkar bangunan permanen megah yang jelas berada di garis sempadan sungai seperti Mangga Dua Square dan WTC Mangga Dua,” kata Ubai.
Upaya-upaya pemulihan dan tata kelola sumber daya air lainya yang juga wajib dipenuhi adalah mengkontrol dan memastikan tanggungjawab pemilik bangunan atau pengembang untuk memenuhi prosentase peruntukan lahan terbuka hijau (RTH) dan memiliki sumur resapan. Kemudian di sektor hulu, salah satu agenda pemerintah dalam tanggap darurat penanggulangan bencana di kawasan megapolitan.
Selain mengacu regulasi yang ada, juga merujuk pada kesepakatan bersama dalam kerjasama antar daerah (Pertemuan Katulampa) yang dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup RI, Kementerian PU bersama Kepala Daerah Jawa Barat, DKI Jakarta Dan Banten, pada musim penghujan Januari 2014 lalu. “Pertemuan Katulampa harus ada tindaklanjut yang konkrit dan jelas sebagai solusi manajemen bencana dihulu dan dihilir,” tutup Ubaidillah.
Sebelumnya Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim juga telah melancarkan kritik keras atas dibangunnya proyek itu. Dia mengatakan, proyek bernilai Rp250 triliun itu hanya akan menguntungkan pengusaha properti.
Sementara hak warga khususnya nelayan akan wilayah perairan untuk penangkapan ikan dan tempat tinggal akan dilanggar. “Proyek ini juga berpotensi merusak daya dukung lingkungan,” kata Halim dalam siaran pers yang diterima Mongabay, Selasa (7/10).
Menurut Halim, kecenderungan mengadopsi teknologi dengan pendekatan kaca mata kuda dan merusak keseimbangan alam tentu akan merugikan kota Jakarta itu sendiri. Belanda yang berada di kawasan sub-tropis tentu karakteristik pesisirnya tidak sama dengan Indonesia yang berada di perairan tropis.
Nilai ekologis, ekonomis dan sosial ekosistem pesisir sub-tropis tidaklah setinggi nilai ekosistem pesisir tropis. “Oleh karena itu, pendekatan reklamasi dan pembangunan tembok raksasa di Teluk Jakarta juga menjadi tidak relevan dan lemah secara argumentasi ketika harus mengorbankan ekosistem pesisirnya,” kata Halim menegaskan.
Proyek pembangunan GSW sendiri telah digagas sejak pemerintahan DKI sebelumnya, Fauzi Bowo. Pembangunan ini direncanakan akan mereklamasi 17 pulau dan meninggikan tanggul. Tahap selanjutnya tanggul akan dikonstruksi. Setelah itu barulah dilaksanakan pembangunan GSW. Di balik bendungan raksasa ini nantinya akan dibangun pemukiman mewah.
“Konsepnya seperti Pantai Indah kapuk, Pluit, Muara Karang. Kita buat khusus untuk perumahan mewah. Tujuannya supaya menahan ombak. Istilahnya kita kasih yang paling ujung itu ke orang kaya. Jadi mereka akan bantu membuat benteng untuk menahan dan melindungi rumah mereka,” kata Wagub DKI Basuki Tjahaja Purnama beberapa waktu lalu.