Lomba Penulisan: Ancaman Banjir dari Hulu Gunung Ijen

 

Gurat-gurat kelelahan tergambar jelas di wajah Hasan, petani jagung di kemiringan lereng Dusun Jambu, Desa Tamansari, Kecamatan Licin. Ketika terik matahari tepat di atas ubun-ubun, ia baru rampung merawat ladangnya. Duduk di satu sudut ladang, Hasan melepas penat seraya menghisap sebatang rokok lintingan tangan. “Tanah ini punya Lidjen, habis tebang pohon gemelina. Saya izin untuk ditanami jagung sambil nunggu masa tanam lagi,” ujarnya sedikit gugup ketika disambangi penulis.

Tak jauh dari situ, ladang buncis terhampar pula di kemiringan. Tahu kehadiran penulis bergeser ke ladang itu, seorang petani keburu kabur. Saat bersamaan dari arah utara, suara parau petani lain mengejutkan penulis. Di sela-sela ladang, bekas penebangan pohon rimba meninggalkan jejak. Mengkonfirmasi terjadi penebangan liar dan alih fungsi lahan. Satu titik di kemiringan lereng Gunung Ijen ini telah bersalin rupa.

Kawasan ini masuk pengelolaan perkebunan Lidjen. Kasubag Tata Ruang dan Perhubungan Badan Perencana Pembangunan Daerah Banyuwangi, Wahyudiono, mengaku sulit menertibkan alih fungsi lahan di area perkebunan meski telah ditelurkan Perda nomor 8 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi 2013-2033.

Kendati garis demarkasi penataan ruang dibuat, ia kikuk menjalankan perda. Di lapangan, Wahyudiono masih menghadapi batu sandungan, khususnya pengelolaan lahan di bawah instansi vertikal macam KPH Perhutani. Kepada pemilik lahan, dia sebatas menegur dan menyarankan ditanami pohon keras di kemiringan mengantisipasi longsor. Bukan malah jagung ataupun buncis. Tapi ancaman dilontarkan bagi pemilik lahan pribadi yang kedapatan menyalahi perda. Manakala ditemukan unsur pelanggaran tata ruang, Wahyu tak segan-segan menyetop izin.

Kerisauan Wahyudiono klop dengan sudut pandang tim juri penilaian pengendalian tata ruang Kementerian PU saat berkunjung ke Banyuwangi, awal Oktober 2014. Mereka menyoal bagaimana Pemkab Banyuwangi menjalin sinergi dengan instansi vertikal dalam hal pengelolaan kawasan strategis, khususnya hutan lindung yang memberi ruang tangkapan air. “Ini hal yang sulit,” kata seorang anggota juri.

Perhutani pun tidak menutup mata. Juru bicara KPH Perhutani Utara, Bambang Karjito, siap bersinergi dengan aturan tata ruang kabupaten asalkan seijin pusat. Ia mengatakan perhutani punya dasar hukum sendiri ihwal tata ruang kawasan yang mencakup hutan lindung dan produksi. Di kawasan utara Banyuwangi, ia mengkover luasan 28.134,26 hektar, terbagi atas hutan lindung seluas 1.435,8 hektar dan sisanya produksi. “Tata kelola kami mengacu di PP nomor 72 nomor 2010 tentang Perum Perhutani,” kata Bambang.

Kepada penulis, Wahyudiono menyodorkan dokumen peta Master Plan Daerah Rawan Bencana Kabupaten Banyuwangi 2013-2033. Tergambar jelas di peta: Banyuwangi kota ditandai warna merah. Indeks merah menunjukkan daerah rawan bencana, termasuk banjir.

Meloncat ke tahun 2033 di peta itu ibarat bom waktu. Spot banjir meluas ke pesisir Muncar, Tegaldlimo, Rogojampi, Pesanggaran, dan Wongsorejo menyesuaikan alur sungai besar di kawasan hulu yang bermuara di lima kecamatan ini. “Ijin kawasan atas harus dikendalikan. Jika tidak, banjir mengancam untuk jangka panjang,” kata dia ketika ditemui penulis di ruang kerjanya.

Setelah bertubi-tubi dihajar banjir, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, baru tahun ini mengusulkan Rancangan Peraturan Bupati tentang Tata Bangunan dan Lingkungan sebagai aturan pelaksana Perda RTRW. Alasannya, Anas mengaku ada keterbatasan anggaran membuat Detail Engeenering Design. Perbup ini rencananya mengatur lebih detail kawasan atas berikut sanksinya bagi pemilik dan pengelola lahan yang melanggar aturan. “Kami sudah buat DED untuk perbup ini, anggarannya Rp 400 juta. Apakah efektif? Saya enggak bisa jamin, pasti ada warga bandel,” katanya.

Paling tidak, kata Anas, ada kemauan menyusun aturan teknis penataan kawasan atas untuk mengantisipasi banjir. Salah satu yang diatur ialah komposisi luas antara Kawasan Dasar Bangunan dan Kawasan Dasar Hijau, yakni 30:70. Aturan yang sama tertuang di Keputusan Menteri Perumahan Rakyat nomor 11 tahun 2008 tentang Pedoman Keserasian Kawasan Perumahan dan Permukiman. Pasal 18 Keputusan Menteri gamblang mengatur komposisi luas antara KDB dan KDH. Bila mengadopsi Keputusan Menteri, kata Wahyudiono, usulan bupati mengatur zona pinggiran kota, dimana KDB paling besar 30 persen dan KDH paling kecil 70 persen.

Anas menegaskan perbup ini mengintervensi sekaligus mengikat pengelola kawasan atas, semisal perkebunan Lidjen dan Perhutani. “Alih fungsinya ada pada kita meski lahan dikelola mereka. Kalau enggak sesuai tata ruang, kita evaluasi,” kata dia. Ungkapan Anas menepis kecemasan Wahyudiono yang mengatakan,”Susah mengatur jika lahan pribadi dan masuk kawasan instansi vertikal, seperti KPH Perhutani.”

Persoalan banjir berkorelasi positif dengan investasi yang terbenam di Banyuwangi. Badan Pelayanan Perijinan Terpada Banyuwangi mendata: realisasi investasi pada 2013 sebanyak Rp 3,3 triliun dengan 1.986 ijin prinsip yang dikeluarkan. Naik ketimbang tahun 2012 sebesar Rp 1,1 triliun dengan 1.340 ijin prinsip. Adapun hingga pertengahan 2014, realisasinya Rp 1,9 triliun dengan 1.019 ijin prinsip.

Raperbup yang dirancang Bupati Anas juga merespon kenaikan investasi. “Ini intisipasi kenaikan investasi. Tata ruang harus diatur,” ujar Anas. Ilzam Nuzuli, Kabid Penanaman Modal menimpali: “Saya optimistis realisasi investasi tahun ini minimal menyamai 2013.” Ilzam akan menggelar karpet merah bagi investor pariwisata yang berminat menggarap kawasan atas asalkan tak mendabrak perda. “Tidak bagi pengembang,” ia menegaskan.

Alih fungsi lahan kawasan atas ini disinyalir berkontribusi menciptakan banjir yang menerjang Kota Banyuwangi pada pertengahan Juli 2014 lalu. Banjir ini membuat Marsai, warga Kelurahan Sobo, Kota Banyuwangi, terjaga dengan tatapan nanar meski telah lewat tengah malam. Pikirannya gundah melihat gemuruh air bah luapan sungai bagong merangsek ke setiap sudut rumah dan lorong jalan. Arusnya deras tak terbendung hingga melumat tembok bagian belakang rumahnya. Amuk banjir semakin menggila. Sepeda motor, perabotan dapur, pintu dan kursi terserak digempur banjir.

Menjelang pagi, banjir berlalu menyisakan gumpalan lumpur pekat campur sampah. Butuh satu minggu menyingkirkan kotoran banjir dari rumahnya. Peristiwa Sabtu malam pertengahan Juli 2014 itu, menyayat hati Marsai. Untuk menutupi noda, ia melamir setengah meter tembok bercat hijau di rumah itu. “Seperti kandang wedus. Sementara hanya dipelamir dulu,” kata dia kepada penulis.

Berulang kali banjir menerjang kampung dimana Marsai tinggal. Hanya yang ia ingat pada Januari 2013 disusul pertengahan Juli 2014. Setali tiga uang, Ijah, tetangga samping kanan rumah Marsai, bernasib sama. Tembok dapur jebol disapu banjir. Hingga kini, kerusakan dibiarkan menganga. Dua orang ini masing-masing dapat bantuan renovasi rumah senilai Rp 1 juta. Oleh Ijah, bantuan duit renovasi dari kelurahan dibuat kebutuhan lain. Tidak bagi Marsai. “Saya langsung perbaiki rumah tapi masih kurang,” kata Marsai.

Bergeser ke selatan di Dusun Sumberrejo, Raminah ketar-ketir melihat air sungai bagong merayap dari belakang rumah. Ia tinggal seorang diri di rumah yang berdiri tepat dipinggir sungai tersebut. Raminah beruntung banjir bah tidak meninggalkan kerusakan fisik. Masih di dusun itu, Mishari, mengaku tembok belakang rumahnya ambrol disapu gelondongan kayu yang terseret air sungai. Sebagian perabot rumah tangga hanyut terbawa arus. Tapi kerugian banjir tahun ini, kata dia, tidak sebanyak pada Januari 2013 silam.

“Saat banjir tahun 2013, televisi dan kulkas rusak. Saat banjir kemarin itu, saya sudah siap-siap. Barang berharga diungsikan dulu ke sekolahan dekat rumah,” ujarnya. Soal kedahsyatan banjir, mereka sepakat bahwa banjir pertengahan Juli itu merupakan bencana terbesar selama dua tahun belakangan. Tahun 2015, Mishari mengharapkan banjir tidak terulang.

Pengakuan Mishari dibenarkan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Banyuwangi, Kusiyadi. Ia mengakui petaka Sabtu malam (12/7) itu terbesar dalam sejarah dengan kerugian lebih kecil ketimbang banjir 2013. Sebabnya, BPBD merasa tanda-tanda banjir bandang segera tiba ketika curah hujan 100 milimeter per detik mengguyur kawasan atas hingga Selat Bali. Siasat pun diatur. Kusiyadi menurunkan tim untuk woro-woro agar warga empat kelurahan- Sobo, Sumberrejo, Pakis, dan Kepatihan- diminta siaga dan mengungsikan barang berharga sebelum bah melumat. Hasilnya lumayan bisa menekan kerugian meski banjir tetap menyapu empat kelurahan.

Ahad pagi (13/7), petinggi SKPD terkait dikumpulkan oleh Sekretaris Daerah. Mereka meriung menyusun pemetaan masalah banjir. Dalam sehari, keputusan pun diambil. “Setelah sumber banjir ditelusuri, bangunan di kawasan atas harus dikendalikan,” kata Kusiyadi kepada penulis. Banjir bulan Juli mengakibatkan kerugian Rp 300 juta, seribu Kepala Keluarga terdampak, empat rumah rusak berat, dan seluas 30 hektar sawah terendam. “Kalau kerugian 2013, saya lupa. Banjir ini sudah bertahun-tahun,” dia menambahkan.

Sejak saat itu, pembagian tugas mitigasi banjir disebar. Dinas PU Pengairan menyasar revitalisasi sungai mulai hulu ke hilir; Dinas PU Bina Marga dan Cipta Karya mengevaluasi bangunan infrastruktur kawasan atas; dan BPBD menyusun skema mereduksi dampak banjir lewat pertolongan. BMKG dan Dinas Perhubungan dilibatkan pula. Meski daya dan upaya dikerahkan, Kusiyadi mengakui potensi banjir sulit dihapus dari peta. “Kecuali kemarau. Kami enggak bisa melawan faktor alam, karena banjir disebabkan curah hujan tinggi dan Selat Bali pasang,” ujarnya.

Pernyataan Kusiyadi diiyakan koleganya, Wahyudiono. Kawasan atas, kata Wahyu, wajib dikendalikan untuk memberi ruang lebih banyak tangkapan air. Penyempitan buangan air, jembatan, sedimentasi sungai, konstruksi bangunan sepanjang stren turut pula memicu petaka banjir.

Penataan kawasan diatur dalam Perda nomor 8 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Banyuwangi 2012-2032. Dua pokok pikiran di perda itu soal rencana struktur ruang dan pola ruang. Kawasan hutan lindung ditetapkan seluas 57.079 hektar mendekati Gunung Ijen dan Raung. Di perda, kawasan ini masuk daerah tangkapan air. Semakin dekat tangkapan air, komposisi bangunan lebih rendah. “Sekarang disusun komposisi 30 persen bangunan dan 70 persen ruang terbuka di kawasan atas,” ujarnya.

Meski belum ampuh menghambat banjir, cetak biru tata ruang Kabupaten Banyuwangi ini dilirik oleh Kementerian PU. Kementerian menahbiskan Banyuwangi sebagai nominator dalam penilaian penataan ruang. Banyuwangi bersaing dengan Kabupaten Bangka, Maros, Jepara, dan Sumbawa. Pengumuman pemenangnya pada 5 Oktober 2014. Capaian lumayan di tengah bencana banjir tahunan.

Kepala Dinas PU Bina Marga dan Tata Ruang, Mujiono, mengakui perda belum efektif menanggulangi banjir dan menata kawasan atas. Persoalannya, butuh peta zona penataan ruang skala 1:5.000 dan cetak biru rencana detail tata ruang kawasan strategis. Mujiono akan mengusulkan pembuatan peta zonasi hingga skala 1:5.000 untuk menyinergikan dua hal itu. “Peta zonasi yang saat ini skalanya 1:50.000. Kurang detail mengatur pemanfaatan kawasan strategis. Antisipasi banjir membuat sumur resapan di beberapa titik,” kata Muji kepada penulis.

Penulis: Diananta Putra Sumedi

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,