Sangat menjenuhkan dan menggelikan untuk mengurai betapa bobroknya kita sebagai manusia atau pemerintah sebagai penguasa untuk menyelesaikan masalah lingkungan, terutama aspek kehutanan. Sebuah kecenderungan apabila hutan sudah mengeluarkan api dan asapnya maka banyak orang bergejolak namun pemerintah seakan tuli, akata lepsia. Hingga taraf keparahan tertentu, barulah ketulian itu terbuka, entah hanya untuk masalah citra atau memang nurani, pergerakkan pemerintah baru terasa.
Namun apa pun itu, hutan tetaplah hutan, yang harus dijaga lestari dan eksistensinya. Hutan adalah wujud abadiah dari hidup, ia memberi makan, pakaian, dan menjadi rumah bagi manusia sekalipun selama ini. Tak ada yang menyangkal betapa hutan sangat memanjakan kita, bahkan tanpa kita sadari sekalipun hutan telah membuat kita menjadi sosok sekarang ini. Hutan adalah manifestasi Tuhan untuk kehidupan manusia. Untuk itu hutan adalah lambang supremasi hidup manusia yang harus dijaga.
Sudah sering terjadi kebakaran hutan di Riau, hingga menyebabkan berbagai penyakit muncul. Pun pula dengan masalah perekonomian akibat terhambatnya lalu lintas ekonomi di daerah tersebut. Belum lagi hilangnya hewan endemik ataupun langka di kawasan Borneo, atau banjir dan longsor yang menjadi langganan bencana di Jawa. Itu semua karena manusia mencoreng kodrat mereka untuk melindungi hutan. Sebagai homo-economicus manusia tak mampu menjaga diri dari ketamakan mereka ketika melihat limpahan kekayaan yang dapat mereka lihat dari hutan. Yang pandirnya, hutan malah dianggap sebagai lumbung ekonomi yang harus digerus hingga habis, ketamakan tanpa batas itu justru menjadi blunder, yang pada akhirnya terjadi bencana dimana-mana.
Manusia yang terdiri dari pemerintah dan masyarakatnya harus turut menjaga hutan yang hidup. Pemerintah melalui ahkamnya harus menelurkan sebuah produk yang tegas dalam menjaga hutan, politik hijau. Produk politik ini berpeluang menciptakan perubahan fundamental dalam menyikapi pemanfaatan hutan. Eksploitasi hutan yang berlebih justru akan semakin menyengsarakan. Aglomerasi produk perkebunan mengakibatkan eksistensi hutan mulai terusik, bahkan dihilangkan. Dan implikasinya pada kerusakan ekologi, yang ujung-ujungnya merugikan manusia. Disinilah politik hijau berperan sebagai politik penyelamat hutan.
Pada dasarnya politik hijau memiliki substansi yang sederhana, ia hanya mengeluarkan kebijakan yang mengoptimalkan potensi hutan bukan memaksimalkan. Politik hijau yang bagi pencinta lingkungan ataupun pemerhati lingkungan bagai afsun yang dapat menarik perhatian mereka. Politik hijau tidak serta merta langsung menyelamatkan hutan begitu saja, campur tangan masyarakat sangat berperan dalam pelaksanaan produk politik ini.
Adalah penting untuk mengoptimalkan potensi hutan dengan menyertakan masyarakat daerah beserta kearifan lokalnya. Politik ini haruslah bersifat desentralisasi, karena yang paling mengenal hutan adalah mereka yang hidup berdampingan dengan hutan. Banyak kebijakan yang secara sentralisasi kurang adati, sehingga dibutuhkan kebijakan yang lebih mengena dan bersentuhan langsung dengan objeknya.
Politik hijau dalam lakonnya sebagai produk politik, hanya mampu memberi ruang, fasilitas, dan kesempatan bagi masyarakat daerah. Sehingga ada interdependen antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat daerah. Jika pemerintah sudah mulai peka dan mau mengimplementasikan politik hijau lebih dalam lagi, maka harus secara tegas untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan prinsip politik hijau. Dan selanjutnya kebijakan tersebut harus diadaptasikan oleh pemerintah daerah agar ad libitum (seturut keinginan) masyarakat daerah beserta kearifan lokalnya. Dan pada prosesnya masyarakat bukan lagi sebagai objek dalam perlindungan hutan, tetapi ia bertransformasi menjadi subjek yang lebih leluasa dalam aspek perlindungan hutan. Sehingga muncullah terminologi baru dalam aspek kehutanan: perlindungan hutan terpadu.
Interelasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat adat harus tetap terjaga dan harmonis. Tidak perlu ada konflik kepentingan seperti yang selama ini terjadi dalam produk politik lainnya, karena ini menyangkut masalah fundamental manusia yakni kehidupan. Adaptabilitas sangat diperlukan bagi setiap lakon perlindungan hutan terpadu, terlebih oleh pemerintah daerah. Mereka harus mampu menafsirkan apa yang diinginkan oleh pemerintah pusat. Lalu kebijakan tersebut diolah lagi agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat adat, hingga pada akhirnya sinkronisasi ini berdampak baik bagi hutan.
Politik hijau tidak hanya sekedar kemampuan untuk mengeluarkan kebijakan baru, ataupun kebijakan yang persuasif. Ia membutuhkan keseluruhan panca indera dan jiwa yang empatik untuk melahirkan sebuah temuan-katakanlah-substansi dari sebuah masalah kehutanan. Sehingga ada sebuah hubungan yang holistis antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat adat untuk memecahkan masalah kehutanan secara ajek, tetap stabil. Dibutuhkan pula kemampuan komprehensif dalam menanganani permasalahan kehutanan, tidak hanya sekedar berpangku tangan pada mulut yang bekerja. Otak serta raga sangat dibutuhkan, seolah mereka bekerja sebagai manusia utuh untuk mencapai apa yang dicitakan.
Dengan berjalan-optimalnya politik hijau ini, dapat dikatakan permasalahan hutan bisa sedikit teratasi. Kita sebagai manusia tidak akan lagi menyangkal kewajiban kita untuk menjaga harta yang sangat berharga dari Tuhan. Politik hijau hanya membutuhkan aforisme (pernyataan yang ringkas tentang kebenaran umum), bukan sebuah nyanyian politik yang merdu namun menyesatkan. Ini adalah tentang masalah kehidupan. Hutan adalah ruang, rumah, bagi kehidupan saat ini, esok, atau ratusan tahun lagi. Bukannya sebagai lumbung harta yang harus dijaga ketat, tetapi hutan adalah rumah yang harus kita tinggali dengan nyaman. Untuk bisa tinggal dengan nyaman, maka jagalah hutan.