Oleh Moses Ompusunggu, wartawan kampus pada Badan Penerbitan Pers Mahasiswa MAHKAMAH Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Kepadamu, seorang kawan yang selalu penasaran entah kapan bangsa ini lebih menyembah kepada adab dan alamnya.
Senin, 1 Desember 2014, matahari siang, sedikit beringsang, berkawan mesra di langit Kampung Bangmalang, Desa Pendowoharjo, Sewon, Bantul. Menyusur ke arah barat Kantor Desa Pendowoharjo, kompleks Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Sewon sudah menyambutku dengan dindingnya yang membenteng tinggi dan teguh. Membelok ke kiri dari kompleks seluas 6,7 hektare itu, jalan desa yang melurus dan basah segera menampilkan sebuah romantisme khas pedesaan. Tentang perkampungan yang nyenyat, sendu, dan sedang melepas lelah sehabis dirisak hujan yang hari itu malu-malu merambah bumi sejak pagi.
Makin ke selatan, jalan kampung semakin sepi. Di seberang mesjid kecil Kampung Bangmalang, kelihatan sebuah bukit meski hanya setitik. Rimbun pepohonan menutup pandangan yang lebih jelas menujunya. Engkau harus tahu, hanya tersedia sebuah jalan saja kesana, yang ukurannya sedikit lebih sempit dari jalan utama desa, tepat di sebelah barat mesjid.
Setelah kutapaki, bukit itu ternyata bertanah lembik dan basah. Kalau tak hati-hati, tubuh bisa lingsir seketika. “Hati-hati, mas. Banyak ular disana”, imbuh seorang remaja yang menunjukkanku jalan setapak untuk memintasi bukit yang oleh penduduk setempat disebut Gunung Pringgan itu. Entah hanya sebuah candaan lepas atau perkataan yang beranjak dari pengalaman.
Tertanam pada bukit itu puluhan nisan dari marmer yang lapuk diterjang masa. Beberapa di antaranya bahkan telah tertutupi tetumbuhan liar yang menyekat kakiku untuk sekedar mendekat. Salah satu nisan yang masih “bersih” kemudian menarik mataku untuk menatapnya. Dua nama dengan huruf kapital tertera dengan jelas di muka nisan itu: Aminto (Lie Kim Tjong) dan Candra Dewi (Liem Hoey Tjoan). Nisan itu sendiri berdiri di atas pondasi setinggi sekitar satu meter, membentuk setengah lingkaran dengan lima anak tangga sebagai pelengkap.
Kawanku, bukit itu memang telah lama digunakan sebagai pekuburan bagi keluarga-keluarga beretnis Tionghoa. Namun, saat ini Gunung Pringgan telah disesaki oleh tanaman-tanaman muda yang sekelilingnya dipagari bronjong. Tentu engkau, sahabatku yang tinggal di kota yang ramai dan senantiasa bercahaya, asing dengan kata itu bukan? Bronjong adalah lingkupan dari bambu yang telah diasah seperti membentuk kerangkeng. Maklum, mereka, tanaman-tanaman itu, masihlah belia dan butuh penaungan yang baik.
Percaya atau tidak, aku sempat berkenalan dengan beberapa di antara mereka. Ada sawo, mangga, belimbing, dan kelihatannya mereka akan kedatangan teman-teman baru dari jenis yang lain. Kabar itu kudapat setelah bertanya kepada Pujowiyadi, petukang renta yang kala itu tengah melampas tipis batang-batang bambu guna membuat bronjong. Pria asli Imogiri, Bantul, itu tidak sendirian, bersamanya ada tiga orang pekerja lain yang juga tekun menggarap urusan yang sama. Rino, salah satu dari tiga orang tersebut, bahkan sempat mengeluhkan betapa tersendatnya pekerjaan mereka karena hujan terus datang di Kampung Bangmalang walau tak pernah diundang.
Tanaman-tanaman tersebut seakan menjadi “raja” baru di Gunung Pringgan. Dari Naryanto, Kepala Bagian Ekonomi Desa Pendowoharjo, kutahu jika sekarang tinggal satu keluarga yang nisannya masih ada, sisanya sudah dipindahkan ke pekuburan lain yang lebih naim. Nisan-nisan lain menanti untuk diboyakkan. Semua demi mendukung keberhasilan Wonodeso, program aktual dari Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemprov DIY) melalui Balai Lingkungan Hidup (BLH) DIY, bertujuan untuk meningkatkan konservasi lahan di wilayah DIY.
Ini juga yang menurutku dapat menjawab gelebah dalam kepalamu: tentang para penguasa yang selama ini menurutmu membisu saat memandang alam negeri kita terus tersuruk. Wonodeso mereka galakkan ketika melihat dua permasalahan utama di DIY saat ini: maraknya alih fungsi lahan pertanian menjadi nonpertanian serta sempitnya ruang terbuka hijau publik (RTHP) yang tersedia.
Kuceritakan yang terjadi di Kota Yogyakarta, yang kali terakhir engkau mendatanginya masih terlihat manis, tanpa hotel-hotel mewah berjejal. Disana baru ada 34 RTHP, sementara Pemerintah Kota (Pemkot) mencanangkan pada tahun 2016 kota setidaknya telah memiliki 45 RTHP di 45 kelurahan.
Di Sewon sendiri, alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan sulit untuk dikendalikan. Investor pengembang perumahan memang mengalihkan sasarannya ke wilayah selatan DIY karena di bagian utara sudah padat. Pasti tak pernah terpikirkan olehmu, Yogyakarta suatu waktu nanti akan menjelma serupa kotamu, yang tak lagi bercelah meski selalu bercahaya itu.
Tak hanya itu, di pesisir selatan provinsi, keberadaan lahan pertanian terus diancam oleh kemunculan tambak udang dan pertambangan pasir besi. Tentu belum segenting lautan di seberang kotamu, yang rajin meluapkan amarah ke daratan karena terlalu sering dimasuki limbah.
Dalam suratku ini akan kukisahkan kepadamu apa sejatinya Wonodeso itu. Kawanku, ada 4 jenis tanah yang digunakan untuk Wonodeso, yakni Tanah Kas Desa, Tanah Kasultanan, Tanah Kadipaten, serta Tanah Wedi Kengser. Tak perlu engkau berwalang hati kalau tanah yang dijadikan Wonodeso akan diserobot oleh cukong-cukong durjana yang tamak akan uang. Itu karena alih fungsi lahan dan masa penebangan tak diperkenankan dalam kebijakan ini. Pemprov DIY melalui BLH menentukan 40% dari jenis tanaman dalam Wonodeso, sisanya menjadi kewenangan Pemerintah Desa (Pemdes).
Selain di Pendowoharjo, Wonodeso juga tengah digarap di 11 lokasi lain di DIY. Jika engkau koyak “Wonodeso” menjadi “wono” dan “deso”, dalam bahasa Indonesia ia akan berarti hutan desa. Namun ia tak sama dengan hutan desa maupun hutan rakyat yang saat ini gencar digalakkan di Gunungkidul, wilayah di DIY yang mungkin engkau kenal melalui berbagai warta sebagai daerah yang gersang dan kerontang. Dalam hutan desa dan hutan rakyat, tidak ada batasan mengenai jenis tanaman yang bisa dikembangkan. Selain itu, sewaktu-waktu dilakukan penebangan juga tak dilarang.
Kawanku, tahun 2014 adalah tahun pertama pelaksanaan Wonodeso. Dengan total lahan Wonodeso saat ini sudah seluas 23 hektare, BLH menyasar seluruh desa di DIY untuk ambil bagian memajukan kebijakan yang memiliki misi konservasi serta budaya tersebut. Misi budaya menyiratkan harapan BLH yang ingin menempatkan lagi perangkat desa sebagai among tani (pelaksana pertanian). Seperti yang dikatakan Endro Waluyo dari Bidang Pengendalian Perusakan dan Konservasi Lingkungan Hidup BLH DIY kepadaku, sekarang ini perangkat desa di DIY sudah tak lagi menggarap tanah, maka dari itu mereka, yaitu BLH, merancang Wonodeso.
Waktu memang tak pernah membuang sauh. Ia akan terus berlari, meninggalkan apa dan siapa saja yang tak siap berjalan jauh. Seperti batu-batu makam di Gunung Pringgan, tak lama lagi tentu akan tergerus luluh. Seiring lalunya masa, konservasi lingkungan menjadi harga mati jika tak ingin alam (dan manusia) menjadi ripuh. Semoga saja Wonodeso tak takluk kepada waktu, bersama segala asa yang terlarung di dalamnya!
Catatan-catatan:
- Tentang Kota Yogyakarta yang mengharap RTHP, engkau dapat membuka laman:
http://jogja.tribunnews.com/2014/11/27/ruang-terbuka-hijau-terkendala-pembebasan-lahan/, diakses pada tanggal 29 November 2014.
- Tentang sulitnya mengendalikan alih fungsi lahan di Sewon, bacalah ini:
http://www.harianjogja.com/baca//2014/10/04/pertanian-bantul-alih-fungsi-lahan-di-sewon-sulit-dikendalikan-541347/, diakses pada tanggal 30 November 2014.
- Engkau kuharap juga membuka laman ini untuk lebih memahami persoalan lingkungan di DIY selain yang terjadi di pesisir:
http://www.mongabay.co.id/2014/09/27/inilah-ancaman-alih-fungsi-lahan-pertanian-di-jateng-dan-yogyakarta/, diakses pada tanggal 30 November 2014.
- Tanah Kas Desa, atau Tanah Desa, adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisara, berdasarkan Pasal 1 ayat (10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa.
- Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Tanah Kasultanan adalah tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana subjek hukum yang mempunyai hak milik atasnya adalah Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang secara turun-temurun dipimpin oleh seorang Sultan Hamengku Buwono.
- Berdasarkan Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Tanah Kadipaten adalah tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta, dimana subjek hukum yang mempunyai hak milik atasnya adalah Kadipaten Pakualaman, yang secara turun-temurun dipimpin oleh seorang Adipati Pakualaman.
- Tanah Wedi Kengser adalah tanah sepanjang bantaran sungai yang status kepemilikannya belum jelas, berdasarkan Penjelasan Pasal 8 Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pertanahan.