Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 disebutkan : “ Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari pasal ini bisa dimengerti bahwa hutan dan segala isinya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, negara dimana dalam menguasai hutan tidak bisa melakukan sendiri, negara seharusnya mengikut sertakan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Di Indonesia, keikutsertaan atau keterkaitan peran masyarakat dalam pengelolaan hutan belum terealisasi dengan maksimal. Pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah seperti masih belum percaya untuk melibatkan masyarakatnya dalam pengelolaan hutan, masyarakat masih sangat minim pengetahuan tentang pengelolaan hutan. Ketika masyarakat tidak dipercaya, pemerintah lebih memilih menyerahkan pengelolaan hutan kepada pihak swasta, yang terkadang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat sebenarnya.
Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah cara melestarikan hutan yang sesungguhnya, karena masyarakat sendirilah yang menggunakan dan memanfaatkan hutan, hutan untuk rakyat dan rakyatlah yang melestarikan. Memulai dari pemerintah daerah memberikan kepercayaan penuh kepada setiap desa untuk mengelola hutan dan segala isinya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan potensi desanya.Pemerintah daerah bertindak sebagai pengawas, pendidik, dan memberikan solusi jika desa mengalami kendala pengelolaan hutan dan segala isinya.
Bagaimana masyarakat desa mengelola hutan-nya ?
Karena sepenuhnya hutan menjadi tanggung jawab masyarakat, maka masyarakat harus bukan hanya pandai mengambil dan memanfaatkan hasil hutan tapi juga pandai melesatarikan hutan, agar ada keseimbangan input dan output hutan.
Hutan dijadikan sumber obat-obatan, kebutuhan masyarakat akan obat akhir-akhir ini terus meningkat, obat yang dibutuhkan rata-rata obat hasil produksi perusahaan farmasi, pada hal dari dulu masyarakat menggantungkan hasil hutan sebagai bahan pengobatan yang alami. Lalu mengapa masyarakat sekarang memilih obat hasil produksi perusahaan farmasi bukan lagi obat alami hasil hutan ? ada dua alasan, pertama obat hasil produksi perusahaan farmasi lebih praktis dan mudah ditemukan, kedua tidak ada lagi hasil hutan yang bisa digunakan sebagai obat alami. Melihat hal ini masyarakat bisa melesatarikan hutan dengan cara melakuakan penanaman pohon –pohon atau tumbuhan yang bisa menjadi sumber obat-obatan, terlebih untuk hutan yang sudah rusak, saat penghijauan bisa diganti dengan tumbuhan obat-obatan .
Hutan sebagai sumber pangan, dari hutan masyarakat yang dahulu menggantungkan hidupnya, di Indonesia masih banyak masyarakat yang menggunakan hasil hutan sebagai sumber pangan setiap harinya. Karena pentingnya kebutuhan pangan untuk masyarakat maka menggunakan hasil hutan secara bijaksana adalah hal yang wajib dilakukan masyarakat, tidak melakukan pemborosan penggunaan hasil hutan adalah salah satu cara melestarikan hutan yang paling efektif dan efisien.
Hutan sebagai sarana rekreasi, ekoturisme atau wisata alam yang memadukan keanekaragam hayati dan koservasi alam adalah salah satu cara melesatarikan hutan. Ekoturisme ini sangat bermanfaat dan bisa diterapkan oleh pemerintah Desa, selain memberi dampak ekonomi dan sosial yang positif untuk masyarakat, ekoturisme juga akan lebih mendekatkan masyarakat untuk lebih cinta dengan hutan dan segala isinya, bisa dijadikan tempat riset dan menggali pengetahuan tentang hutan secara langsung.
Melestarikan hutan dengan menjadikan hutan sebagai sumber obat-obatan, sumber pangan, dan sarana rekreasi adalah salah satu langkah kecil yang bisa dilakukan rakyat untuk mengelola hutan.Memanfaatkan potensi hutan di daerah dengan cara memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada rakyat untuk mengelola adalah perwujudan dari pasal 33 Undang-undang 1945. Hutan untuk rakyat, maka rakyat yang harus melestarikan.