Lomba Penulisan Artikel -> Lomba Penulisan : [Bukan Sekedar Tindakan, Harus Berkelanjutan]

Indonesia terkenal sebagai negara ke depelan yang memiliki kawasan hutan terluas di dunia. Sebanyak 88 juta hektar hutan yang dimiliki oleh Indonesia membuat negara ini memiliki kontribusi yang tinggi terhadap ketersediaan udara bersih (O2). Namun, realitanya untuk menghirup udara bersih saja di Indonesia lumayan sulit. Terutama bagi penduduk di Pulau Sumatera yang sering mengalami kebakaran hutan.

Kasus kebakaran hutan di Indonesia marak terjadi, khususnya di Provinsi Riau hampir setiap tahun asap dari kebakaran hutan membuat langit di kawasan Pulau Sumatera bahkan hingga ke Negara Singapura dan Malaysia tertutup kabut hitam. Hal ini sempat membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta maaf kepada negara Malaysia dan Singapura.

Mendengar kabar ini, pemerintah harusnya risih terhadap singgungan dari negara tetangga. Perubahan harus diterapkan agar hutan Indonesia yang begitu luas dapat bermanfaat bagi kehidupan. Namun dalam mencapainya sama saja jika hanya berupa aturan yang selalu direvisi tiap tahun tanpa pengawalan yang ketat. Contohnya saja program “Penanaman Seribu Pohon” yang kedengarannya sangat hidup hijau sekali. Namun setelah kegiatan ini dilaksanakan masihkah dipedulikan kehijauannya ?

Sebagai seorang mahasiswa, saya mengambil contoh di kampus. Berkuliah di Universitas Hasanuddin menjadi kebanggan karena ketika memasuki area kampus pemandangan hijau langsung menyayat hati. Tapi, terselip sedikit kecewa ketika menghijaukan hanya dijadikan sekedar formalitas kemeriahan sebuah seremoni.

Di kampus, setiap kegiatan besar biasanya menyisipkan satu agenda penanaman pohon. Khususnya acara dies natalis, entah dies natalis Universitas, dies natalis fakultas, hari bumi ataupun hari penting lainnya. Awalnya, hanya opiniku saja penanaman ini hanya sekedar seremoni. Namun tak ku sangka, anggapan ini diiyakan pemimpin tertinggi fakultasku. “Memang tanam pohon itu tunggu seremoni kan?” ungkapnya yang tak bisa ku lupa.

Suatu saat, ku usut kasus penanaman ini bersama kawan. Hasilnya memperihatinkan, mereka (birokrat universitas) bersemangat menanam bahkan menancapkan namanya di samping bibit pohon yang ditanam. Entah untuk dikenal oleh orang yang lewat siapa nama penanamnya. Puluhan gelar Professor beriringan dengan bibit pohon. Namun, ketika tanaman ini mati adakah Prof mengakui kesalahannya yang tidak merawat ? Mereka malah menyalahkan musim kemarau yang panjang dan bukan waktu tanam yang tepat, pasokan air yang memang kurang di kampus bahkan hingga dana pemeliharaan tanaman di kampus. Sudah tau bukan waktu tanam, mengapa tetap dipaksa tanam? Agar dibilang hijau?

Selain itu, program pembagian bibit juga tak ku setujui. Tiap hari bumi terkadang dibagikan selebaran kertas yang berkaitan dengan pelestarian alam disertai orasi ajakan untuk menyayangi bumi dengan gerakan penghijauan. Pembagian bibit sering menghiasi seremoni hari bumi ini. Namun entah mengapa pembagian bibit ini yang seolah-olah ingin mengajak penghijauan ini nyatanya malah ditelantarkan.

Pengamatanku menghasilkan bahwa pembagian bibit kembali lagi hanya formalitas. Apakah pernah dipikir bibit itu akan ditanam oleh orang yang menerima ? Seorang dosen yang mendapat bibit ketika pembagian pernah mengeluh padaku ia tak tau mau ditanam di mana bibit yang diberii. Akhirnya, ia menelantarkan dan mati. Tak hanya itu, sekelompok mahasiswa yang mengakui mencinta alam dan lingkungan juga sama halnya ketika menerima bibit. Mereka malah membiarkannya karena tak ada lahan. Lalu, untuk apa kita bagi bibit jika tak ditanam ?

Kini mencintai alam dan lingkungan bagai memakai sebuah topeng. Masing-masing orang yang ingin dicap peduli malah salah langkah karena tak paham. Semua yang dilakukan hanya seremonial saja.

Sebagai salah seorang yang mendalami ilmu Kehutanan di bangku kuliah saya yakin teman-teman sama mengertinya akan pentingnya melestarikan. Namun, tidak demikian. Banyak juga kegiatan yang diadakan seperti penanaman pohon dan pembagian bibit hanya formalitas. Atas nama Kehutanan, kami tanam pohon. Terus ketika sudah ditanam ? Kami pergi meninggalkan tumbuhan hingga ia mengalami seleksi alam? Itukah makna penghijauan? Ditanam lalu ditinggalkan ?

Tak hanya itu, seorang aktivis lingkungan yang ku kenal juga pernah mengusulkan pembagian bibit ketika kami bersama merencanakan kegiatan. Lantas ketika ku tanya nanti bibitnya ditanam di mana? Malah dijawab, urusan mereka yang jelas kita sudah bagi. Lah, inikah juga penghijauan ? Dibagi lalu diacuhkan?

Tak begitu caranya bagiku. Pertama, semuanya entah masyarakat, mahasiswa ataupun pemerintah harus sadar dan paham masalah lingkungan ialah masalah kita semua. Ini bukan hanya masalah dari orang-orang yang mendalami lingkungan. Jadi, kelestariannya bukan hanya tugas pencinta alam, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang alam dan lingkugan, dan para peneliti lingkungan, melainkan ini ialah tugas kita semua.

Solusi saya ialah ketika kita mulai paham, marilah bergerak untuk hijaukan lingkungan sekitarmu mulai dari gaya hidupmu. Penanaman pohon dan pembagian bibit tidaklah salah namun harus dipikirkan dengan asas berkelanjutan manfaat dari itu semua. Selain itu bagiku kurangi pemborosan dalam memanfaatkan kertas, botol, plastik, air, dan segala sumber daya yang tak dapat diperbaharui. Paling penting, hilangkan faktor G (gengsi) ketika memulai hidup hijau. Jangan gengsi dijuluki “Ahh, sok hijau’ sok mencintai lingkungan,” Tunjukkan bahwa kita memang sewajarnya mencintainya karena ia telah memberikan apa yang kita butuhkan.

Buat pemerintah, kembali tegakkan sanksi atas pelanggaran hukuman yang terjadi khususnya masalah di bidang lingkungan. Mulai dari hal kecil harus ada teguran ketika dilanggar seperti buang sampah sembarangan, tidak menghabiskan makanan hingga ke hal yang merusak tanaman dan pembakaran hutan ataupun penjualan satwa liar.

Teringat satu kata yang memotivasi dalam berbuat hijau dalam hidup. Mahatma Gandhi pernah bertutur “Bumi menyediakan semua yang dibutuhkan manusia, tapi tidak untuk orang serakah,” Jika demikian nikmatilah hasil bumi, jangan rakus dan rawatlah agar bumi juga sehat.

Artikel yang diterbitkan oleh