Ketika membaca judul diatas, pasti banyak yang bertanya-tanya apa sih maksudnya? Beberapa bulan lalu seorang teman pernah bercerita pengalamannya saat melakukan pendakian di Gunung Semeru bersama komunitas pecinta alam di kampusnya. Gunung yang terletak di Malang, Jawa Timur ini memang menjadi lokasi favorit bagi para pendaki gunung di tanah air. Apalagi setelah Gunung Semeru menjadi lokasi syuting film layar lebar berjudul “5 cm.” , sejak saat itu banyak para pendaki pro maupun amatir yang berdatangan ke Semeru untuk sekedar menikmati indahnya pemandangan dari puncak tertinggi di pulau Jawa.
Keindahan Gunung Semeru juga dilengkapi dengan hadirnya sebuah danau cantik yang sering dikenal dengan sebutan Ranu Kumbolo. Danau ini sering menjadi tempat peristirahatan para pendaki sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak mahameru. Mandi, makan, bersantai sejenak, dan berfoto bersama sering dilakukan siapa saja yang tiba di Ranu Kumbolo. Namun siapa sangka, hal yang dianggap memberikan kesenangan ini juga ternyata ikut membuat para pecinta alam lupa akan ‘identitas’ dirinya. Banyak sampah dan sisa-sisa makanan yang ikut menghiasi indahnya Ranu Kumbolo ketika para pendaki Gunung Semeru pergi meninggalkannya. “Katanya pecinta alam, tapi kok kelakuannya gitu,” tutur seorang teman saat menceritakan pengalamannya.
Sampah memang kini menjadi momok bagi alam Gunung Semeru. Tak hanya di Ranu Kumbolo, bahkan di sepanjang jalanan menuju puncak gunung pun tak jarang dijumpai sampah yang berserakan dimana-mana. Sebuah pemandangan yang harusnya tidak perlu terjadi jika para pendaki gunung bisa lebih peduli terhadap alamnya. Meninggalkan sampah di lingkungan alam yang masih bersih seperti Ranu Kumbolo mungkin ‘dosanya lebih besar’ dari sekedar membuang sampah di jalanan kota seperti Jakarta. Tapi apapun itu, tindakan-tindakan manusia yang secara sengaja ataupun tidak dalam mencemari lingkungan harus segera dihilangkan.
Kesadaran akan pentingnya hidup sehat dari lingkungan yang bersih mungkin masih kurang dipahami oleh sebagian dari kita, bahkan untuk mereka yang sudah mengklaim dirinya pencinta alam. Menjadi pecinta alam bukan hanya sekedar sebutan kepada mereka yang gemar melakukan pendakian gunung. Bukan juga untuk mereka yang hobi melakukan traveling, baik di darat maupun di laut. Namun lebih dari itu pecinta alam sejati adalah mereka yang benar-benar menunjukan rasa cinta mereka terhadap alam dengan cara menjaga dan merawatnya.
Kejadian di Ranu Kumbolo mungkin hanya satu diantara banyak kejadian serupa yang sedang terjadi. Oleh karena itu sudah saatnya sebagai manusia yang hidup berdampingan dengan alam kita turut menjaga kelestariannya, mulai dari hal kecil seperti tidak membuang sampah di alam bebas.
Bagi para pendaki gunung, siapapun dia, mungkin mulai sekarang sudah harus bisa merubah cara mendaki mereka agar lebih clean selama melakukan pendakian. Bila perlu, mereka yang ingin mendaki harus menyediakan kantong plastik untuk masing-masing orang agar dapat digunakan menampung sampah sisa makanan dan minuman. Jika mereka yang mendaki gunung itu rombongan dalam jumlah yang banyak, tak ada salahnya melakukan aksi bersih-bersih sampah di tempat pendakian. Atau aktifitasnya bisa dibuat lebih kreatif agar dapat diikuti semua pendaki, seperti lomba mengumpulkan sampah, dan masih banyak lagi aktifitas positif yang bisa kita lakukan dalam memerangi pencemaran lingkungan.
Pekerjaan rumah khusus juga bagi penanggung jawab seluruh Taman Nasional Gunung apa saja yang ada di Indonesia, agar menyediakan fasilitas tempat pembuangan sampah yang terpusat di setiap sudut yang akan dilewati para pendaki menuju puncak gunung, sehingga sampah-sampah lebih mudah diletakkan pada penampungan sampah yang sudah tersedia.
Jika semua itu bisa berjalan dengan lancar, mungkin pemandangan sampah yang terlihat di Ranu Kumbolo tidak akan kita jumpai lagi. Mereka yang sering menginjakan kakinya di puncak-puncak gunung pun boleh berbangga dengan sebutan pecinta alam untuk dirinya.