Di ruang kerja bupati yang berpendingin, pertemuan audiensi Abdullah Azwar Anas bersama perwakilan PMII Cabang Banyuwangi, Kamis siang, awalnya berlangsung sedikit kaku. Namun, tak butuh waktu lama bagi Bupati Banyuwangi itu untuk mencairkan suasana dengan sambutan hangat.
Delapan aktivis PMII ini berkunjung ke Bupati Anas buat mempertanyakan berbagai kebijakan, salah satunya soal tambang emas di Gunung Tumpang Pitu. “Saya sudah baca sepintas surat audiensi Anda,” kata Bupati Anas, Kamis (8/1).
Tidak berlama-lama, Bupati Anas langsung menggoreskan spidol pada whiteboard yang berdiri persis di sebalah kiri. Lewat goresan itu, agaknya ia ingin menceritakan gamblang hitung-hitungan golden share 10 persen bagian Kabupaten Banyuwangi yang dipersoalkan oleh PMII. Anas menuturkan, golden share itu digenggam lewat proses panjang renegosiasi setelah Kementerian Kehutanan mengeluarkan status hutan produksi di Tumpang Pitu pada 2010 lalu.
“Saya hanya meneruskan kebijakan bupati sebelumnya. Kalau sampai dibatalkan, bisa-bisa saya dibawa ke arbitrase internasional karena ijin dari pusat telah turun. Tinggal saya berpikir bagaimana agar tambang emas ini bermanfaat bagi rakyat Banyuwangi,” ujar Anas.
Muncullah ide golden share yang mengusung konsep saham non delusi. Atas kerja kerasnya, Anas mengklaim konsep golden share di Banyuwangi akhirnya banyak ditiru oleh kabupaten lain yang mempunyai tambang mineral emas alias menjadi benchmark.
PT Bumi Suksesindo selaku pemegang Ijin Usaha Pertambangan di gunung emas tersebut.
Kepala BPPT Banyuwangi, Abdul Kadir, mengaku hanya menyetujui ijin 1.900 hektare buat penambangan emas dari 10 ribu hektare lahan yang dikuasai PT BSI. “Mungkin hanya 900 hektare saja yang dieksploitasi, sisanya 1.000an hakter untuk kegiatan pendukung seperti akses jalan,” Kadir menambahkan.
Golden share 10 persen dihitung dari total modal disetor buat mengeksploitasi Tumpang Pitu. Pihaknya juga tidak mengkonversi nilai saham itu dengan sejumlah duit. Alasannya, kapitalisasi saham akan naik menyesuaikan modal yang disetor oleh investor.
Bupati Anas mengilustrasikan strateginya ini ibarat memetik buah mangga. “Jadi tidak mengurangi nilai saham. Semakin banyak PT BSI menambah modalnya, maka saham kita semakin besar. Lebih baik menunggu buah mangga itu kuning dulu, baru dijual agar harganya mahal,” kata Bupati Anas.
Pemkab Banyuwangi pun memiliki kebebasan untuk menjual atau mempertahankan kapitalisasi saham setelah PT BSI melantai di bursa. Meski golden share di tangan, Bupati tidak bersikap latah. Ia enggan membetuk BUMD buat mengelola jatah saham 10 persen ini. Sebabnya, pembentukan BUMD justru berpotensi kontraproduktif karena kerap ditunggangi kepentingan politik penguasa yang mengabaikan profesionalitas.
Ia mencontohkan setiap pergantian bupati selalu diikuti pergeseran jajaran direksi di BUMD. Ia telah berkonsultasi ke Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan perihal aliran duit saham. “Langsung masuk ke APBD. Siapa pun bupatinya tetap masuk APBD, tidak ke BUMD,” kata bupati.
Adapun setiap penambahan modal di PT BSI yang berdampak pada kapitalisasi saham, kata Anas, tetap lewat persetujuan DPRD dengan mengeluarkan Peraturan Daerah. Anas kian yakin atas track record PT BSI yang berencana melakukan penawaran saham perdana (IPO) dengan menunjuk PT Bahana Securities sebagai penjamin efek (underwriter).
Dengan begitu, pengelolaan keuangan PT BSI bisa transparan karena status perseroan telah menjadi perusahaan publik. “Belum lagi PT BSI harus mengantongi status Clean n Clear dan ijin amdal sebelum eksploitasi. Prosesnya panjang,” kata dia.
Satu jam lebih berdiskusi, para aktivis PMII itu agaknya mahfum setelah Bupati Anas menjelaskan secara gamblang perihal pro kontra Tumpang Pitu. Bupati Anas berpesan bahwa setiap kebijakan yang diambil pasti berimplikasi pro kontra. Tapi pemimpin wajib mengambil keputusan dengan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat.
activate javascript