, ,

Membincang Ekologi Pembangunan; Pembangunan Berkelanjutan, Ekologi Politik, Post-2015 dan Krisis Ekologi di Indonesia

rain-forest-nias-island-indonesia_23909_990x742

Pendahuluan
Pada tulisan ini saya mengajak hadirat pembaca menyimak apa itu ekologi pembangunan, bagaimana proses pembangunan yang berwawasan lingkungan atau yang lebih dikenal dengan istilah pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan hal yang sangat krusial dalam studi ekologi pembangunan adalah menyoal tersedianya sumberdaya yang cukup—dalam pengertian daya dukung lingkungan yang mempengaruhi berjalannya proses pembangunan. Dan tentu saja hubungannya dengan persoalan ekologi terutama krisis ekologi menjadi isu strategis dalam konteks pembangunan berkelanjutan apalagi komitmen politik pembangunan berkelanjutan sebagaimana tertuang dalam Agenda Post-2015 telah memberi tempat bagi ekologi sebagai pilar utama dalam agenda pembangunan berkelanjutan.

Otto Soemarwoto (2001) memberikan definisi apa itu ekologi pembangunan. Hematnya pembangunan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup membentuk sistem ekologi yang disebut ekosistem. Ilmu yang mempelajari interaksi antara pembangunan dan lingkungan hidup disebut ekologi pembangunan. Manusia, baik sebagai subyek maupun obyek pembangunan, merupakan bagian ekosistem. Pandangan holistis inilah yang dipakai dalam ekologi pembangunan.

Human_Sustainability_Confluence_Diagram2

Jabaran Pembangunan Berkelanjutan: Sekilas Tentang Komisi Brundtland, Deklarasi Rio dan Konsolidasi Pembangunan Berkelanjutan
Guna menerapkan pembangunan yang bijaksana dan berwawasan lingkungan pada paruh kedua abad ke-20 dicetuslah pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Susan Baker (2006) menulis bahwa Istilah ‘pembangunan berkelanjutan’ datang ke arena publik pada tahun 1980 ketika Union for the Convervation of Nature and Natural Resources mempresentasikan Strategi Konservasi Dunia (World Convervation Strategy) (IUCN 1980). Agenda ini bertujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan melalui konservasi sumber daya alam hayati. Namun, fokusnya agak terbatas, terutama menangani keberlanjutan ekologis, sebagai lawan yang menghubungkan keberlanjutan isu-isu sosial dan ekonomi yang lebih luas. Lebih lanjut Baker menambahkan bahwa tidak sampai 1987, ketika World Commission on Enviroment and Development (WCED) menerbitkan laporannya yang bertajuk Our Common Future, di mana hubungan antara dimensi sosial, ekonomi dan ekologi pembangunan secara eksplisit ditunjukkan (WCED 1987). WCED dipimpin oleh Gro Harlem Brundtland, Perdana Menteri Norwegia, dan Our Common Future kadang-kadang dikenal sebagai Laporan Brundtland.

Dalam perkembangannya, terselenggaralah KTT Bumi tahun 1992 di kota Rio de Jeneiro, Brazil. Menurut Soemarwoto (2001) KTT Bumi melahirkan Deklarasi Rio yang mengandung prinsip-prinsip kesepakatan. Dalam Deklarasi Rio dinyatakan bahwa tujuan KTT Bumi (United Nations Conference on Environment and Development) ialah untuk mengembangkan kemitraan global baru yang adil. Deklarasi itu menyatakan bahwa manusia adalah pusat perhatian pembangunan berkelanjutan. Secara global konsep pembangunan berkelanjutan Brundtland fokusnya adalah membuat hubungan antara pemenuhan kebutuhan dunia miskin dan pengurangan keinginan dari dunia kaya. Sulit untuk membedakan kebutuhan dari keinginan, karena mereka secara sosial dan budaya ditentukan. Namun, dalam kebanyakan budaya mempunyai kebutuhan pokok yang sama, dan termasuk subsisten, perlindungan, kasih sayang, saling-pengertian, partisipasi, penciptaan, rekreasi, identitas dan kebebasan. Dunia industri mengkonsumsi lebih dari kebutuhan dasar, karena memahami perkembangan terutama dalam hal konsumsi bahan baku yang semakin meningkat. Kelebihan ini mengancam ekologi sumber daya dan biosistem kelestarian planet. Ini tantangan dunia industri untuk menjaga pola konsumsi dalam batas-batas apa yang secara ekologis mungkin dan ditetapkan pada tingkat yang semua cukup bisa di cita-citakan. Hal ini membutuhkan perubahan dalam pemahaman tentang kesejahteraan dan apa yang dibutuhkan untuk menjalani kehidupan yang baik. Perubahan ini memungkinkan pengembangan yang diperlukan di Selatan (Baker, 2006).

Jabaran mengenai pembangunan berkelanjutan di atas mempertegas upaya serius dalam mengatasi problem pembangunan yang berdampak pada lingkungan. Pada dasarnya pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk menegaskan arah baru pembangunan dan tak berhenti disitu saja upaya negara-negara utara sebagai sponsor utama berbagai macam komitmen kelembagaan juga mendapatkan kritik dan sebagai tandingannya peranan tersebut juga dimainkan oleh negara-negara dunia ketiga yang dalam perkembangannya semakin terkonsolidasi. Kritik juga datang dari berbagai kalangan yang mempertanyakan tentang siapa yang menentukan bahwa suatu pembangunan bersifat berkelanjutan dan dengan kriteria apa? Berapa banyak yang harus kita tinggalkan untuk generasi yang akan datang? (Whitten et al,1999). Dalam upaya memahami pembangunan berkelanjutan masing-masing pihak terdapat perbedaan pada tataran landasan paradigmatik dan pelaksanaannya. Ini tergantung siapa yang mengimplementasikannya, apakah seorang pejabat dan konsultan ahli Bank Dunia, apakah pejabat pemerintah, apakah seorang akademisi, apakah seorang aktivis lingkungan hidup, atau apakah ia seorang aktivis anti globalisasi dan begitupun juga treatment-nya akan berbeda jika dilaksanakan oleh pihak korporasi. Terlepas dari perbedaan masing-masing pihak dalam memandangnya, kini pembangunan berkelanjutan menjadi kesepakatan bersama agar dapat diimplementasikan secara konkret.

Bersamaan dengan itu, komitmen politik dalam pembangunan berkelanjutan disuarakan dengan lantang oleh gerakan sosial yang menghimpun diri dalam aksi politik hijau untuk memantapkan posisi mereka dalam kerangka ekologi politik. Semisal, apa yang dilakukan oleh gerakan ekologi pembebasan dan ecofeminisme yang secara bulat menyuarakan keprihatinan dan aksi strategis atas problem pembangunan terutama menyangkut tata kelola lingkungan hidup yang dialami oleh negara-negara selatan yang sangat berdampak parah—hal ini bisa kita saksikan apa yang terjadi di Indonesia. Komitmen politik hemat saya adalah mitigasi awal bagi solusi ketidakadilan ekologi dan prasyarat utama terpenuhinya tujuan pembangunan berkelanjutan—yang dalam kerangka ini dimampatkan pada Agenda Post-2015.

Menarik untuk disimak analisis Alex Evans-seorang analis pembangunan berkelanjutan—hematnya ambisi tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dalam konteks ekologi, yang akan mencakup target mulai dari mengakhiri kemiskinan, mengurangi ketidaksetaraan baik di dalam dan antar negara; pemerintahan yang lebih baik dan masyarakat yang damai untuk tindakan terhadap perubahan iklim, restorasi ekosistem, dan perubahan besar terhadap konsumsi dan produksi berkelanjutan. Namun ujian sesungguhnya komitmen pemerintah bukanlah besarnya tujuan tersebut. Ini adalah tentang apa yang mereka siap lakukan untuk menjangkaunya. Tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) jauh lebih ambisius daripada tujuan pembangunan milenium (MDGs), dan mencapainya akan lebih sulit.

Dalam pada itu, pembangunan berkelanjutan sebagaimana jabaran butir ketujuh dari deklarasi milenium PBB adalah untuk memastikan kelestarian lingkungan hidup di mana poinnya adalah bagaimana mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dalam mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan, mengurangi kehilangan keanekaragaman-hayati (biodiversity) diantaranya dengan berkurangnya proporsi luas lahan yang tertutup hutan, konsumsi zat yang merusak lapisan ozon, proporsi tangkapan ikan dalam batasan biologi yang aman, proporsi total sumber daya air yang digunakan, proporsi kawasan lindung di darat dan laut dan proporsi spesies yang terancam punah. Disamping itu, deklarasi milenium memuat resolusi pada tahun 2015 yang diharapkan mampu untuk mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat dan kebutuhan dasar sanitasi yang baik, menyediakan akses berkelanjutan terhadap sumber air, meningkatkan akses penduduk ke sanitasi dan target pencapaian di tahun 2020 adalah meningkatkan kualitas kehidupan yang layak dari jumlah orang yang tinggal di pemukiman kumuh.

UNSG_report_image

Untuk mengakselerasi dan melanjutkan apa-apa saja yang masih belum tercapai dalam implementasi MDGs di mana target ambisius MDGs pada 2015 adalah memberantas kemiskinan, dengan seksama kita lihat sebuah tagline dari berakhirnya program MDGs ‘We Can End Poverty 2015’, maka PBB merumuskan agenda pembangunan global pasca-2015 atau yang lebih dikenal dengan Post-MDGs 2015 dan atau Post-2015 saja. Agenda Post-2015 merupakan upaya lebih lanjut dari kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan pasca berakhirnya implementasi MDGs yang ditetapkan pada KTT Milenium tahun 2000 lalu dan secara simultan dilanjutkan dengan dipersiapkannya satu set tujuan pembangunan berkelanjutan-Sustainable Development Goals (SDGs).

Di Indonesia agenda Post-2015 mendapatkan tantangannya untuk diuji sejauh mana kemampuannya dalam mengatasi krisis sosial-ekologis yang sudah kadung berurat-akar. Hal ini dapat kita cermati bahwa krisis sosial-ekologi yang terjadi di Indonesia adalah akibat dari pembangunan yang masih bertumpu pada cara pikir antroposentrik yang menjadikan alam sebagai target sasaran untuk dieksploitasi sedangkan paradigma pembangunan yang berdimensi ekosentrik di mana hubungan antara subyek dan obyek pembangunan bersifat ko-eksistensi masih belum diterapkan sepenuhnya meskipun dalih pembangunan berkelanjutan sudah menggema namun masih pada tataran retorika semata—kalau boleh dikatakan demikian. Faktanya, krisis lingkungan di Indonesia sudah mengalami kerusakan yang memprihatinkan bahkan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup (sebelum digabungkan dengan Kementerian Kehutanan) mengamininya. Misalnya, krisis kerusakan hutan di Indonesia adalah sekian dari krisis sosial-ekologis yang disebabkan oleh orientasi pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan atau sama sekali tidak sesuai dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals [SDGs]) yang selalu digadang-gadangkan oleh PBB.

Gelombang Ekologi Pembebasan dan Ecofeminisme Sebagai Suara Ekologi politik
Perhatian serius kelompok gerakan sosial dan atau saya menyebutnya gerakan liberasi ekologi—sebuah gerakan yang dapat terlacak sejak tahun 1960an di mana politik hijau (green politic) mencuat ke permukaan, kemudian tumbuh berbarengan seiring terbitnya dokumen Brundtland tahun 1987 dan semakin mengkristal pasca Deklarasi Rio ’92. Tentunya, ekologi politik lahir sebagai upaya terhadap kebutuhan teoritis untuk mengintegrasikan praktik penggunaan lahan dengan politik ekonomi lokal-global (Wolf 1972) dan sebagai reaksi terhadap politisasi lingkungan hidup (Cockburn dan Ridgeway 1979). Dalam pandangan mereka, ekologi politik menggabungkan keprihatinan ekologi dengan “ekonomi politik yang didefinisikan secara luas” (1987: 17). Ditambah melihat sebuah permasalahan lingkungan di Dunia Ketiga, misalnya, manajemen lingkungan yang buruk, kelebihan penduduk, atau ketidakpedulian terhadap persoalan lingkungan hidup, seperti tindakan sosial dan kendala politik-ekonomi atas persoalan-persoalan ekologi.

Richard Peet dan Michael Watts (1996) mencatat dengan gamblang dan panjang tentang latar belakang gerakan ekologi pembebasan. Hematnya dua puluh lima tahun setelah kepeduliannya pertama dari Hari Bumi, dan kesadaran lingkungan di seluruh dunia, jelas bahwa environmentalisme-sekarang ditulis dalam bahasa berkelanjutan-kembali menjadi agenda politik. Beberapa partai hijau aktif di dalam selusin negara Eropa Barat, munculnya gerakan lingkungan di negara bekas blok sosialis, dan hubungan antara ekologi dan kemiskinan Dunia Ketiga telah mengikat sebuah dokumen yang tidak begitu mengancam dan berpola sentris seperti Laporan Komisi Brundtland 1987 dan Deklarasi Rio 1992.

Hal ini menggoda untuk melihat proliferasi politik hijau ini, sejarah berulang namun konjungtur saat ini cukup berbeda dari tahun 1960-an dan awal 1970-an. Pertama, restrukturisasi kapitalisme di negara Atlantik Utara telah secara radikal mengubah regulasi lingkungan, terbentuknya kelembagaan globalisasi dan integrasi pasar (WTO, NAFTA), ditambah dengan teknologi baru yang lebih destruktif dan kebijakan deregulasi agresif iklim di negara yang diprivatisasi, menunjukkan dunia sangat berbeda dari tahun 1969. Kedua, pertumbuhan ekonomi Fordisme dan tingginya tingkat pertumbuhan industri di beberapa negara industrialisasi baru (Brazil, Korea, Taiwan) telah menuntut korban lingkungan yang berat, sementara rekor lingkungan yang menakutkan di negara bekas blok “sosialis” sekarang perlahan-lahan telah menjadi pengetahuan umum (Feshbach, 1992). Memang, ada rasa yang mendalam di mana krisis sosialisme itu sendiri dipicu oleh masalah lingkungan dan sumber daya yang serius yang dihasilkan oleh kekurangan ekonomi. Dan, ketiga, adanya kecenderungan baru yaitu pengakuan bencana global jangka panjang (global warming, penipisan ozon, bahaya biogenetis) telah melahirkan upaya baru yakni meregulasi kelembagaan multilateral: deklarasi UNCED di Rio de Jeneiro, protokol Montreal tentang perubahan iklim, dan upaya hijau GATT (Esty 1994; Sand 1995).

Seruan ekologi politik dalam paruh kedua abad ke-20 selain melahirkan gerakan ekologi pembebasan juga memunculkan gerakan ecofeminisme. Lahirnya gerakan ecofeminisme merupakan sebuah tindakan yang mencoba memperlakukan alam secara ekosentris. Ekosentrisme adalah suatu pandangan yang menempatkan alam co-existence dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Dus, ekosentrisme disuarakan dengan sangat menggema sebagai bentuk penghormatan terhadap alam beserta nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya. Gerakan ecofeminisme didasari atas keprihatinan atas ekosistem bumi yang mengalami deprivasi dan sebagai bentuk anti-pole terhadap pandangan antroposentrisme yang menjadikan alam sebagai ‘tambang’ dalam peningkatan surplus kapital.

Pada perkembangannya gerakan ecofeminisme terbagi menjadi beberapa tipologi seperti essentialist ecofeminism, materialist ecofeminism, ecofeminist political economy dan resistance ecofeminism (John Barry, 1999). Dalam jabaran singkat mengenai gerakan ecofeminisme, pada tulisan ini saya ingin memperbandingkan dua aliran ecofeminisme yang berbeda yakni aliran esensialis (essentialist ecofeminism) dan aliran materialis (materialist ecofeminism). Aliran esensialis mengatakan bahwa argumen dasar dari pemikiran ecofeminisme ialah krisis ekologi tidak hanya disebabkan oleh pandangan antroposentrisme yang berorientasi manusia (human-centredness), pandangan antroposentrisme ini merupakan anak kandung modernitastetapi dapat terlacak pada suatu pandangan androsentrisme (male-centredness) yang menjadi biang keladi atas permasalahan krisis ekologi. Sebagaimana Plant ajukan,

“sebuah dunia yang begitu cepat dipenetrasi, dilahap dengan rakus dan dihancur-leburkan oleh dunia maskulin—lalu menyebar di seluruh muka bumi, menggoda dan mencoba untuk merasakan sisa-sisa terakhir dari pernak-pernik kehidupan modern—umpamanya televisi dan senjata…sebagaimana kita saksikan seksama bagaimana hutan hujan Amazon ditebang secara membabi buta hanya untuk menyediakan daging sapi murah bagi (konsumsi-pen) hamburger orang Amerika, lihatlah bagaimana nasib penduduk setempat yang bertempat tinggal disana yang teramat mencintai lingkungan alamnya sedang meratap pilu menyaksikan tanah moyangnya yang begitu rapuh dikeruk isi buminya, semuanya diperlakukan secara semena-mena. Pandangan ‘Dunia maskulin’ ini adalah sangat mendekati jurang kehancuran bumi.” (Plant, 1989:1-2 dalam John Barry, 1999).

Sementara aliran materialis menyoroti pentingnya soal penataan ulang (reconfigurating) basis material kehidupan manusia (yang meliputi ekonomi formal dan informal, sistem kerja, relasi reproduktif, dan pertukaran material diantara “ekonomi berorientasi manusia” dan “lingkungan hidup” agar supaya terjadi keseimbangan. Jadi, tidak berat sebelah yang lebih mementingkan hasrat ekonomi manusia—kenyataannya seringkali mengeksploitasi alam. Ditambahkan, aliran materialis mengkritik tajam aliran esensialis yang hanya menempatkan hubungan antara perempuan dan alam berdasarkan kategori seks semata. Dalam pada itu, ecofeminisme materialis lebih jauh bahwa persoalan ekologi merupakan hubungan dalam konteks ketimpangan gender (semisal konstruksi sosial yang membagi masyarakat berdasarkan jenis kelamin). Perempuan dan alam sama-sama menderita akibat sistem patriarki dan kapitalisme industri. Singkatnya, bagi aliran ecofeminisme materialis bahwa apa yang dapat mempersatukan dan menyamakan antara perempuan dan alam ialah keduanya sama-sama dieksploitasi dan ditindas oleh dunia maskulin, budaya seksis (sexist culture), institusi sosial, nilai-nilai dan praktik sosial (Ibid, 1999). Terlepas dari perdebatan diantara aliran ecofeminisme, hal yang menjadi core mereka adalah sama-sama menyuarakan pentingnya menempatkan keadilan ekologi dalam penerapan sistem sosial, politik, budaya, nilai-nilai, institusi dan tentu saja penerapan pembangunan yang mempunyai komitmen sustainability.

Atas dasar itu, keprihatinan mendalam atas krisis ekologi yang disuarakan oleh gerakan ekologi pembebasan dan ecofeminisme mendapat gaungnya didalam kerangka pemikiran pembangunan berkelanjutan. Sepanjang tahun 1980an dan memasuki tahun 1990an, gagasan bahwa perempuan sebagai kunci dalam pembangunan berkelanjutan begitu meluas: pencapaian tertinggi dalam pembangunan berkelanjutan adalah menambatkannya dengan membangun politik kesetaraan perempuan dalam proses pembangunan berkelanjutan (WRI, 1994: 43).

Membaca Secara Singkat Krisis Ekologi di Indonesia
Pada kasus krisis-ekologis di Indonesia dapat kita ambil contoh pada persoalan tata kelola hutan yang pengelolaannya tidak berkelanjutan meskipun pemerintah hematnya telah berupaya mereformasi tata kelola kehutanan namun dalam praktiknya masih menyisakan persoalan mendasar yakni paradigma lama yang masih dipakai. Mengingat dalam pengelolaan kehutanan di Indonesia masih menggunakan warisan paradigma politik kehutanan Orde Baru.

Politik kehutanan Orde Baru secara fundamental telah merubah secara radikal hak penguasaan atas sumberdaya kehutanan dari traditional customary property rights menjadi state property rights—politik kehutanan ini tidak hanya berdampak bagi ekosistem hutan tetapi juga berdampak luas terhadap harkat hidup masyarakat setempat yang kehidupannya hanya bertumpu pada keberlanjutan hutan (Kartodiharjo et al dalam Kartodiharjo ed.: 2013). Warisan paradigma inilah yang masih menjadi bottleneck dalam tata kelola kehutanan meskipun di era reformasi telah mengalami beberapa perubahan kebijakan dan peraturan perundang-undangan namun tetap saja watak politik kehutanan kita masih bergaya Orde Baru. Namun demikian, upaya untuk mereformasi tata kelola kehutanan dan lingkungan di Indonesia terus dilakukan secara serius, tampaknya demikian.

Forest Watch Indonesia dalam sebuah laporannya yang dihimpun dalam sebuah buku berjudul Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 1996-2000 dan Potret Keadaan Hutan Indonesia Periode 2009-2013 mencatat bahwa laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta hektare per tahun. Pada rentang 10 tahun berikutnya, laju deforestasi mencapai 1,5 juta hektare per tahun (FWI, 2011). Laju deforestasi yang cenderung tinggi adalah dampak dari tata kelola kehutanan yang tak kunjung membaik (FWI, 2014). Empat penyebab tidak langsung dari deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia adalah: (a) perencanaan tata ruang yang tidak efektif, (b) masalah-masalah terkait dengan tenurial, (c) pengelolaan hutan yang tidak efisien dan efektif, dan (d) penegakan hukum yang lemah serta maraknya korupsi di sektor kehutanan dan lahan (UNDP, 2013).

Hal yang sama juga dilaporkan Walhi dalam catatannya yang menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia disinyalir mencapai 4 juta hektare per tahun, sektor pertambangan dan perkebunan memberikan kontribusi terbesar bagi kerusakan hutan. Persoalan hutan di Indonesia memang teramat rumit untuk segera diatasi seperti pada kasus illegal logging, alih fungsi lahan, eksplorasi dan eksploitasi industri ekstraktif di area hutan, dan kebakaran hutan, yang menjadi penyebab utama terjadinya deforestasi.

Institute for Global Justice (IGJ)—sebuah organisasi anti-globalisasi dalam amatannya melaporkan bahwa tidak hanya sumber-sumber tambang mineral, minyak, gas dan batubara Indonesia yang dieksploitasi untuk kepentingan modal asing, namun juga kekayaan perkebunan dan hasil hutan. Hingga saat ini sedikitnya 9 juta hektar lahan di Indonesia telah dialokasikan untuk perkebunan sawit, sementara lebih dari 30 juta hektar hutan telah diserahkan kepada pemilik modal besar dalam bentuk hak pengelolaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Hal yang sama juga dengan konsesi pertambangan, luas konsesi yang diberikan hampir sama dengan luas negara Irlandia—itupun untuk konsesi tambang batubara dan belum termasuk konsesi tambang lainnya.

Persoalan lingkungan hidup di Indonesia tak berhenti di isu kehutanan saja tetapi juga di isu lainnya baik yang bersangkut paut dengan persoalan kehutanan maupun persoalan lingkungan baik yang berdiri sendiri dan bersinggungan dengan isu kehutanan seperti konflik agraria, privatisasi air, reklamasi, pertambangan dan perkebunan, begitupun di lingkungan perkotaan seperti persoalan sanitasi, akses air bersih, permukiman kumuh, banjir, dan polusi yang senantiasa menggerus ekosistem. Selain itu, persoalan eksploitasi dan eksplorasi sumber daya alam di pulau-pulau kecil tak bisa dianggap remeh malahan semakin intensifnya aktivitas pemanfaatan lahan untuk kegiatan investasi ekstraktif mengakibatkan fungsi-fungsi dasar ekosistem pulau-pulau kecil mengalami ketidakseimbangan dalam menjaga sistem tata air, mencegah intrusi air laut, menjaga sumber ekonomi masyarakat setempat, mitigasi bencana dan menjaga sistem ekologi pulau.

Ketidakseimbangan ekosistem terjadi apabila salah satu pulau rusak maka akan berdampak bagi pulau sekitarnya. Kasus reklamasi adalah menyebab utama terhadap rusaknya ekosistem pulau-pulau kecil karena pengerukan daratan (reklamasi) akan berdampak terhadap arah aliran arus air laut. Perlu diketahui, pulau-pulau kecil berfungsi dalam menjaga biota laut dan jalur migrasi burung-burung (Briefing Paper Koalisi Penyelamatan Pulau-Pulau Kecil Indonesia, 2015). Dan jika ekosistem pulau-pulau kecil rusak bisa dipastikan mengacaukan sistem navigasi burung-burung dan matinya biota laut. Krisis ekosistem di pulau-pulau kecil adalah bagian dari kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil dan daerah pesisir yang keliru karena tidak sesuai dengan prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil yang berkeadilan dan berkelanjutan.

deforest5

Bersamaan dengan itu, pembukaan lahan (land clearing) untuk usaha pertambangan dan perkebunan (terutama perkebunan sawit) telah memberikan andil besar bagi laju deforestasi. Semisal, banyaknya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan sudah menjadi pintu bagi perusahaan tambang dalam mengeksplorasi, mengeksploitasi dan mengeruk sebesar-besarnya sehingga menimbulkan ancaman terhadap keseimbangan ekosistem karena pada dasarnya aktivitas pertambangan membutuhkan lahan, air dan energi yang sangat besar. Terlebih, belum lagi dampak sosiologisnya, di mana ditemukan fakta sering terjadi proses pemiskinan masyarakat sekitar meskipun perusahaan tambang mengaku telah melakukan pemberdayaan (empowerment & corporate social responsibility) namun intensinya hanya sekedar ‘menggugurkan kewajiban’ dan lebih parah lagi adalah sekedar membangun citra padahal mereka telah melakukan kejahatan lingkungan. Hal yang sama juga berlaku di sektor perkebunan dengan kasus yang serupa dan seringkali terjadi konflik agraria yang menyertainya. Baik sektor pertambangan dan perkebunan sama-sama berkontribusi besar bagi penurunan daya dukung lingkungan dan tentunya menambah panjang daftar hitam kasus-kasus ketidakadilan ekologi.

Selain pertambangan dan perkebunan pada umumnya. Kedepannya, pemerintah berencana memberikan konsesi jutaan hektar hutan untuk kontrak farming kepada perusahan-perusahaan pertanian skala besar (IGJ, 2012). Dan rencana tersebut, sudah terimplementasi di kawasan mega agro-industrial MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy Estate) di mana pemerintah memberikan konsesi lahan seluas 4 juta hektar bagi kontrak farming kepada korporasi pertanian. Mega agro-industrial MIFEE merupakan bagian dari pembukaan lahan (land clearing) terbesar setelah pertambangan karena memadukan antara pertanian, perkebunan dan industri secara terpadu di dalam satu kawasan. Aktivitas MIFEE berdasarkan temuan data di lapangan berdampak serius bagi ekosistem dan kelangsungan hidup masyarakat setempat.

Fakta dilapangan menunjukkan bahwa telah terjadi pemiskinan struktural, perampasan ruang hidup dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat setempat. Mereka sama sekali tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan dan malahan terusir dari tanah leluhur yang selama ini telah memberikan mereka kehidupan. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan dan Iklim Global mencatat bahwa dalam kawasan MIFEE tidak berlaku moratorium. Pembangunan mega agro-industrial MIFEE ini seakan bertolak belakang dan menjadi pengecualian dengan kebijakan moratorium hutan di mana klausul revisi kebijakan tersebut adalah turut mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan melalui program 12, 7 hektar lahan buat masyarakat (mongabay.co.id, 27/5).

Belum lama ini kasus ketidakadilan ekologi juga menimpa penduduk Rembang, rencana pendirian pabrik semen adalah biang keladi dari persoalan ketidakadilan ekologi yang dialami warga Rembang. Pokok masalahnya adalah menyangkut soal hak atas air di mana berdirinya pabrik semen sudah bisa dipastikan mengancam hak yang paling asasi yakni hak atas akses sumber air bersih. Suara-suara keprihatinan dan penolakan lantang disuarakan oleh warga Rembang terutama kaum Ibu-ibu. Ini membuktikan bahwa kasus Rembang sangat berdampak sistemik bagi ruang hidup masyarakat.

Kasus Rembang, Pati, dan tentu saja kasus lumpur Lapindo adalah sebuah milestone persoalan krisis ekologi di Indonesia. Berkenaan dengan begitu banyaknya kasus-kasus ketidakadilan ekologi seperti ilustrasi di atas membuktikan bahwa Indonesia masih dihadapkan dengan berkelindannya masalah ekologi. Isu-isu yang terus aktual ini seakan terpisah dengan gembar-gembor pemerintah soal visi pembangunan berkelanjutan di mana targetnya adalah menuntaskan agenda Millenium Development Goals (MDGs) dan menjemput agenda Post-2015. Lantas, bagaimana skema Post-2015 bisa efektif terlaksana—pangkal dari itu semua adalah political will yang kuat atau saya menyebutnya sebagai komitmen politik lingkungan dari pemerintah dan juga yang tak kalah pentingnya adalah lobi-lobi pemerintah kepada negara-negara utara. Lobi-lobi ini penting karena dapat memperkuat posisi tawar Indonesia dalam penataan ekologinya.

Disamping itu, pemerintah benar-benar menegakkan law enforcement di bidang tata kelola ekologi, misalnya mencabut izin bagi perusahaan yang nakal dan memberlakukan regulasi yang kuat (high regulation) sesuai dengan visi pembangunan berkelanjutan. Selain itu, peran aktif masyarakat sipil sangat diperlukan untuk mengawal visi pembangunan berkelanjutan yang dituangkan dalam agenda Post-2015 mendatang. Dan tentu saja partisipasi masyarakat luas (participation in decision-making) begitu penting kedudukannya dalam mengawal dan mengimplementasikan tujuan pembangunan berkelanjutan. Bukankah komitmen untuk berkelanjutan (Commitment to Sustainability) dari masing-masing pihak entah pemerintah, korporasi dan lembaga-lembaga telah ramai-ramai menyatakannya—atau komitmen tersebut hanya lip service belaka, yang tak lebih dari retorika sumir tentang komitmen berkelanjutan.

Perlu pembuktian untuk komitmen berkelanjutan tersebut dan memang pada saat ini kita sudah sama-sama saksikan bahwa pemerintah sudah berkomitmen untuk melakukan reformasi tata kelola ekologi. Kebijakan reformasi tata kelola ekologi perlu kita apresiasi sekaligus kita pantau implementasinya di lapangan, beberapa kebijakan reformasi tata kelola ekologi yang terbaru adalah memperpanjang moratorium hutan dan tak hanya itu pemerintah juga harus memperkuat moratorium tersebut karena bagaimanapun memperpanjang saja tidak cukup perlu ada upaya untuk memperkuatnya. Meskipun beberapa kali sudah revisi sejak penerapan moratorium tahun 2011 silam hingga kini masih banyak ditemui fakta di lapangan yang tidak sesuai dengan apa yang sudah ditanda tangani diatas kertas. Ya, kita akui memang terobosan kebijakan yang dibuat oleh Kementerian LHK di kabinet kerja Presiden Jokowi lebih terasa greget¬-nya ketimbang periode SBY lalu meskipun demikian produk kebijakan moratorium masih setingkat Inpres belum sampai ke tingkat Perpres apalagi PP (Peraturan Pemerintah). Publik pun seakan berharap semoga kebijakan moratorium hutan yang progresif ini tidak hanya menjadi macan kertas saja!

Lubang Bekas Tambang Batubara yang tidak direklamasi dan Pasca tambang di Samarinda, Kalimantan Timur. Kolam bekas lubang tambang ini telah menelan korban jiwa

Kemudian hal yang tak kalah pentingnya adalah soal konsesi usaha pertambangan yang perlu dikaji ulang meskipun sudah terlanjur mengeluarkan perijinan namun pemerintah berkewajiban untuk tetap melakukan moratorium investasi pertambangan dan juga perkebunan. Dalam perkembangannya, kini pemerintah mengevaluasi penataan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) karena diduga sekitar 40% pemegang IUP bermasalah dan selebihnya pemerintah juga akan mengevaluasi pemegang IUP yang telah memperoleh status clean and clear (CnC). Pertambangan, bagaimanapun adalah investasi yang tidak membawa manfaat banyak selain merusak lingkungan juga menghilangkan ruang hidup masyarakat dan sama sekali bukanlah pilihan yang tepat untuk mendorong ekonomi berkelanjutan karena energi fosil yang dihasilkan adalah energi kotor, energi yang tidak dapat diperbaharui. Jadi, kita sama sekali tidak bisa berharap banyak kepada energi fosil dan masa depan bumi sangat tergantung dari komitmen berkelanjutan yang menggunakan energi terbarukan (renewable energy)sebagai pilihannya. Tentunya, penggunaan energi terbarukan terutama untuk skala investasi meskipun ramah lingkungan jangan sampai memarginalkan kelompok-kelompok masyarakat rentan. Alih-alih green investment malah tidak melibatkan partisipasi masyarakat dalam redistribusi kemakmuran.

Penutup
Dus, menyambung soal komitmen politik pembangunan berkelanjutan di mana isu-isu seputar persoalan krisis ekologi menjadi penting untuk diinstalasikan kedalam agenda Post-2015. Hematnya, agenda Post-2015 hanya dapat berhasil dan efektif jika berlaku sama untuk negara-negara baik di selatan dan utara; semakin banyak negara yang berpartisipasi; masyarakat sipil, pihak terkait dan kelompok marjinal sama-sama terlibat dalam pelaksanaan, perkembangan, pemantauan dan penilaiannya; dan tidak mendiskriminasikan atau meninggalkan siapa pun di belakangnya. Tidak cukup dengan fasilitas platform The World We Want 2015 saja melainkan agenda Post-2015 harus didasarkan pada komitmen dan akuntabilitas, termasuk antara lain mekanisme yang tepat, transparansi, laporan secara reguler, tekanan kolektif, dan pilihan untuk negara yang bertanggung jawab terhadap agenda Post-2015 dan dengan begini agenda Post-2015 dapat kita teropong dengan jelas termasuk juga memberikan ruang bagi kelompok-kelompok penekan yang kritis terhadap pelaksanaan agenda Post-2015.

Dinamika perkembangan ekologi pembangunan mulai dari tumbuhnya gerakan ekologi politik, mekanisme perumusan ekologi politik baik pada tingkat kelembagaan multilateral maupun masyarakat sipil, KTT Bumi 92 di Rio de Jeneiro Brazil, Konferensi Perubahan Iklim, KTT Milenium tahun 2000 (yang melahirkan program MDGs), ketetapan agenda Post-2015 sampai dengan bertumbuhnya inisiatif-inisiatif dari masyarakat yang juga concern terhadap pembangunan berkelanjutan adalah trajektori dari proses pembangunan berkelanjutan—sebuah proses bagi kelangsungan masa depan bumi, masa depan anak cucu kita bersama!

 

Renal Rinoza—penulis; tertarik di isu pembangunan berkelanjutan dan ekologi

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,