Sadar akan ancaman investasi perkebunan sawit, komunitas masyarakat Liku Dengen berusaha melakukan perlawanan dengan mengembangkan sistem pertanian organik. Usaha tersebut, merupakan salah satu upaya mereka untuk memperoleh kembali (reclaiming) lahan yang sebelumnya dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara.
Kampung Liku Dengen terletak di Desa Uraso, Kecamatan Mappadeceng, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Warga kampung ini adalah komunitas adat Tabang yang berada di wilayah dataran tinggi. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda berada di bawah onder afdelling (wilayah bawahan) Masamba.
Masyarakat di Kampung Liku Dengan sudah bertahun-tahun ditempa konflik perebutan lahan dengan PTPN. Semuanya berawal ketika PTPN masuk dan mengembangkan perkebunan sawit. Direktur Eksekutif Perkumpulan Wallacea, Basri Andang mengungkapkan, perkebunan sawit masuk ke Liku Dengen sejak tahun 1981 melalui Lewat SK Bupati Luwu No. 119/II/KDL/1981. Kampung Liku Dengen menjadi lahan inti perkebunan plasma untuk Proyek Perkebunan Inti Rakyat (PIR) PTPN XXVIII. Sepanjang 1983-1984, perusahaaan BUMN ini mulai menanam sawit untuk perkebunan plasma di Mappadeceng. “Padahal sesuai hasil riset kami, PTPN XXVIII baru memiliki sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) tahun 1995 setelah mengajukan permohonan pada 1987,” ungkap Basri.
Seiring waktu, masyarakat Liku Dengen mulai melakukan penolakan terhadap PTPN. Apalagi, perusahaan dinilai melanggar kesepakatan. Salah satunya tentang ganti rugi dan pembagian lahan perkebunan plasma. PTPN berjanji memberikan satu hektar lahan plasma untuk setiap kepala keluarga. Tetapi kemudian dengan alasan keterbatasan lahan, perusahaan memberikan satu sertifikat lahan plasma untuk dikelola bersama empat kepala keluarga.
Sadar dengan kerugian yang diterima, masyarakat Liku Dengen sepakat membangun kembali kampung tua mereka pasca-berkonflik dengan PTPN XIV. Mereka kini bertekad mengembangkan pertanian berkelanjutan, dan menggagas Liku Dengen menjadi kampung organik.
Menurut Basri, pertanian organik telah dirintis masyarakat Liku Dengen sejak 2014 lalu, setelah beberapa orang mengikuti pelatihan Pertanian Terpadu dan Ramah Lingkungan. Berbekal pelatihan tersebut, warga langsung mempraktikkan pembuatan pupuk organik dan kompos secara gotong-royong.
Mereka juga telah melakukan kunjungan belajar ke Kelompok Swabina Pedesaan di Desa SalassaE, Kabupaten Bulukumba. Di komunitas pertanian organik SalassaE, mereka belajar secara langsung penerapan sistem pertanian alami. “Kini warga pun sudah merasakan manfaat pupuk organik cair dan kompos, terutama pada tanaman merica yang sudah berbuah. Sementara tanaman jangka panjang masih dalam perkembangan seperti jengkol dan pala. Mereka juga sudah mulai mencoba untuk pertanian sawah” tutur Basri.
Salah seorang pendamping warga, Hery Niko mengatakan, pupuk organik yang dihasilkan warga manfaatnya sangat banyak. Di samping harganya lebih murah, hasilnya pun lebih memuaskan. ‘’Kalau bisa dibuat, kenapa harus dibeli dengan harga mahal dan selalu langka di pasaran. Kalau bisa dibikin, kenapa harus tergantung pada penjual pupuk yang sering dipermaikan distributor dan pedagang pupuk,’’ ungkap Hery. Ia menambahkan, pupuk kimia terlalu mahal sehingga warga tidak mampu membeli.
Penggerak pertanian organik di Liku Dengen, Hery mengungkapkan, saat ini warga tidak sekedar membuat pupuk organik cair dengan unsur NPK dan kompos. “Warga juga bisa membuat pestisida dan herbisida herbal yang berasal dari bahan-bahan alami. Manfaatnya adalah mengobati serangan jamur pada kakao, dan menghalau walangsangit,” jelasnya.
Ne’ Arya, salah seorang petani yang sudah menggunakan pupuk organik cair dan kompos pada tanaman merica mengungkapkan, pertumbuhan tanamannya sangat bagus dan subur, jauh berbeda jika dibandingkan dengan menggunakan pupuk kimia. Pada umur 11 bulan tanaman mericanya sudah memperlihatkan buah dan tingginya mencapai satu meter. “Tanamannya juga subur dan saya tidak mengeluarkan uang sampai ratusan ribu rupiah untuk membeli pupuk kimia,” katanya.
Kini dengan adanya usaha pertanian alami tersebut masyarakat Liku Dengen berharap bisa meningkatkan taraf hidup dan bisa melawan ancaman investasi perbunan sawit. Langkah ini juga merupakan upaya mempertahankan kesuburan tanah. Sebab jika tidak diremajakan lagi oleh perusahaan, lahan butuh puluhan tahun lagi untuk pulih kembali agar bisa menjadi lahan pertanian. Bagi masyarakat Liku Dengen, pertanian bukan sekedar untuk bertahan hidup, tapi juga untuk kelestarian lingkungan. Hal inilah yang mendorong mereka melakukan upaya merintis pertanian organik di Liku Dengen. (Anies Sjahrir)