, ,

Satwa Indonesia dan Kurang Familiarnya Generasi Muda Kita

 

 

“Apa contoh binatang pemangsa?”

“Singaaa”

“Binatang apakah ini?” (menunjuk gambar kukang)

“Koalaa”

Aktivitas saya sebagai staf kampanye dan edukasi di salah satu organisasi yang bergerak di bidang pelestarian satwa liar sangatlah menyenangkan, karena dapat berbagi ilmu dan pengalaman kepada hampir seluruh lapisan masyarakat. Lapisan favorit saya yang juga paling sering membuat resah adalah anak usia sekolah dasar (SD).

Dibalik keceriaan, kepolosan, dan antusiasme mereka saat diajak belajar dan bermain tentang satwa Indonesia, bukan satu dua kali saya harus menghela nafas panjang. Ironi yang meskipun sudah sering muncul tapi selalu menjadi tamparan keras adalah fakta bahwa anak Indonesia lebih familiar terhadap satwa-satwa yang tidak berasal atau ada di Indonesia, ketimbang satwa asli Indonesia. Contohnya kutipan dialog di atas, yang tak hanya terjadi di level siswa SD saja, tapi pernah juga saya jumpai hingga tingkat SMA. Mengapa bisa begini?

Pada rentang usia 0 sampai sekitar 4 tahun, anak berkembang pesat dalam hal sesorik. Ini juga berarti bahwa apa yang ia lihat pada usia-usia prasekolah ini sangat menentukan pemahamannya terhadap konsep pengenalan lingkungan secara umum.

Jika dalam usia ini mereka dibuat familiar dengan binatang-binatang yang ada di dalam poster atau buku cerita, maka binatang-binatang itulah yang akan berkesan di dalam memori jangka panjang mereka.

 

Edukasi yang dilakukan di sekolah dasar. Foto: PROFAUNA Indonesia
Edukasi yang dilakukan di sekolah dasar. Foto: PROFAUNA Indonesia

 

Bayu Sandi, Koordinator PROFAUNA Borneo yang aktif melakukan edukasi dan pembinaan kepada masyarakat di Kalimatan Timur menuturkan, sudah saatnya orangtua, guru, dan media visual memberikan porsi lebih untuk menampilkan satwa-satwa asli Indonesia dalam benda-benda di keseharian anak.

Faktor lain dari krisis pengetahuan generasi muda terhadap keragaman hayati Indonesia adalah matinya cerita rakyat. Etalase toko buku saat ini telah terkudeta oleh dongeng dari Eropa dan kartun Jepang yang kemudian merambah ke layar lebar dan menjamur pada setiap aksesoris anak.

Apa hubungannya dengan satwa? Fikka Cahya Aprilia, staf edukator di Petungsewu Wildlife Education Center menyebutkan, ada banyak cerita rakyat asli Indonesia yang melibatkan aneka jenis satwa seperti kancil, burung, ikan, anjing, harimau, dan lainnya. Satwa tersebut berperan sebagai binatang dalam kisah fabel ataupun sebagai personifikasi karakter manusia.

“Melalui cerita rakyat, secara tidak langsung kita diperkenalkan tentang beragam jenis satwa dan pemahaman bahwa kehidupan manusia dan satwa tidak terpisahkan. Apalagi selama bercerita akan ada pengulangan nama jenis satwa itu, sehingga memudahkan anak untuk mengingat,” ungkapnya.

 

Hutan Indonesia harus kita lestarikan. Foto: PROFAUNA Indonesia
Hutan Indonesia harus kita lestarikan. Foto: PROFAUNA Indonesia

 

Indonesia adalah rumah bagi lebih dari 300.000 jenis satwa liar. Salah satu cara efektif yang bisa kita lakukan adalah dengan mendedikasikan momen khusus untuk mengenal satu jenis atau kelompok satwa tersebut agar selalu diingat.

Kita memperingati momen Hari Primata Indonesia setiap 30 Januari, ada juga World Tiger Day yang jatuh setiap 29 Juli, serta World Elephant Day pada 12 Agustus. Banyak pula momen khusus yang digunakan para pemerhati satwa sebagai ajang peningkatan kesadaran masyarakat akan isu-isu perlindungan satwa tersebut.

Masalah ketidaktahuan generasi muda akan satwa Indonesia dan keragamn hayatinya bukanlah sesuatu yang rumit. Semua problem tersebut dapat dikerucutkan pada satu solusi mendasar, buat mereka familiar. Hadirkan satwa Indonesia dalam keseharian mereka, baik melalui bahan ajar di sekolah, tayangan televisi, pernak-pernik, dongeng sebelum tidur, hingga percakapan santai di meja makan.

Kita juga bisa memperingati momen-momen terkait dengan pelestarian satwa dengan hal-hal kecil. Ayo kenali satwa asli Indonesia, kenalkan pada anak, dan selalu pupuk rasa sayang kita pada keragaman hayati Indonesia!

 

Elang-ular bido. Foto: Swasti Prawidya Mukti
Elang-ular bido. Foto: Swasti Prawidya Mukti

 

Swasti Prawidya Mukti

International Affairs & Campaign Officer PROFAUNA Indonesia

 

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, ,