Badan jalan sekitar satu meter, jalan itulah yang menjadi akses utama masyarakat pengelola Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Lestari Register 19 Gunung Betung, Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
Jalannya cukup terjal, kiri dan kanan jalan terdapat jurang berkedalaman sekitar 5 – 10 meter.
Tanaman pisang, kelapa, kopi, durian, jengkol dan tangkil berdiri tegak bersandingan, menjadi penopang badan jalan setapak yang dibuat oleh warga agar tidak tergerus longsor.
Tidak lebih dari lima kilometer dari pemukiman penduduk menaiki kawasan tersebut, kita akan menyaksikan rapatnya tanaman keras dan aliran sumber mata air yang diberi nama Damar Kaca.
Mata air ini salah satu sumber yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk kebutuhan sehari-hari.
“Alirannya deras dan tidak pernah berhenti sekalipun dalam keadaan kemarau panjang,” kata Mansur (52) warga Desa Hurun, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.
Dari Kawasan Register 19 itu juga kita dapat melihat keindahan alam Teluk Lampung.
“Daerah jelajah ini sebelumnya kami jadikan sebagai ekowisata minat khusus, tetapi belum ada yang pengelolanya,” katanya lagi.
Kawasan Register 19 memiliki nama Taman Hutan Rakyat Wan Abdul Rahman (Tahura WAR) dengan total luas keseluruhan 22.224 hektare yang mana 600.022 hektare dikelola oleh 384 keluarga yang tergabung dalam kelompok SHK Lestari.
Direktur Walhi Lampung Hendrawan mengatakan kelompok SHK Lestari menjadi daerah percontohan dalam pelestarian hutan dan berkeadilan ekonomi.
“110 peserta simposium pengukuhan kelola hutan kerakyatan dari 74 negara dunia akan melihat secara langsung bagaimana masyarakat bisa berdampingan dengan alam,” kata dia.
Setelah mengalami proses panjang baru sekitar tahun 2001 Program SHK Lestari bisa diterapkan di tengah masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan.
“Dulu masyarakat sangat tertutup dengan setiap pendatang karena mereka trauma akibat tindakan refresif dari pemerintah,” kata Hendrawan lagi.
Dahulu masyarakat memanfaatkan hutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi saja. Mereka menebang semua pohon dan menggantikan dengan tanaman kopi.
Bahkan di dalam kawasan kami menemukan jejak pemukiman warga yang sekarang sudah ditinggalkan.
Menurut keterangan warga setempat Kasim, tak hanya rumah saja yang berdiri tetapi bangunan sekolah dan rumah ibadah juga ada di sana.
***
Hutan yang kian kritis membuat masyarakat berpikir. Dengan didampingi LSM perlahan-lahan warga membentuk skema pelestarian hutan.
Ketua SHK Lestari Agus Kuntoro mengatakan ada sebuah peraturan kelompok yang tertuang dalam permades yang meliputan Desa Hurun,Cilimus, dan Hanura.
“Peratutan ini wajib ditaati oleh semua anggota kelompok dan jika melanggar tentu ada sanksi yang sudah disepakati bersama,” kata Agus.
Adapun larangan yang harua diperhatikan masyarakat dalam upaya menjaga kelestarian Tahura adalah:
Dilarang menyetrum dan meracun ikan di sungai, tidak boleh pohon di pinggir sungai atau mata air, tidak boleh membunuh satwa, menggeser batas kebun, tidak boleh melepas binatang ternak di hutan dan tidak boleh melakukan pembangunan baik di sungai maupun di darat.
“Seperti pelanggaran menebang pohon saja, hukumannya harus mengganti tiga kali lipat harga pohon tersebut lalu dilakukan penyitaan dan tentu si pelanggar diharuskan menanam pohon jenis yang sama,” ujarnya.
Dan selanjutnya si pelanggar diambil sumpahnya dihadapan anggota kelompok untuk tidak mengulangi lagi perbuatan yang dapat mengancam kelestarian hutan.
Kesepakatan lainnya, kelompok SHK Lestari diwajibkan menanam pohon minimal 25 tegakan dalam setiap hektare.
Peraturan yang sudah digalakkan sejak awal tahun 2000-an itu perlahan membuahkan hasil.
Terbukti dengan masih adanya 266 vegetasi endemik tanaman hutan kemudian ditemukannya 82 populasi burung dan 26 satwa liar.
Meskipun memiliki aturan yang keras demi kelestarian hutan, masyarakat penerima manfaat bisa tetap survive dengan sistem tumpang sari.
Warga memiliki penghasilan dari hutan melalui tajuk jangka pendek, jangka meneggah dan Jangka panjang.
Seperti dari tanaman kopi, coklat, aren, cengkeh, pala, melinjo, durian, jengkol dan lainnya.
Kemapanan ekonomi masyarakat terbukti dari pundi-pundi rupiah yang mereka hasilkan.
Dari tanaman coklat mampu panen sebanyak 100 ton per tahun atau setara dengan Rp3 miliar sedangkan komoditas kopi mencapai 600 ton per tahun atau Rp1.2 miliar.
Itu belum termasuk komoditas lainnya yang kerap diburu pasar internasional, nasional dan lokal.
“Setiap kelompok boleh menambah jumlah keanggotaannya agar semakin banyak penerima manfaat hutan, namun areal garapan tidak boleh meluas apalagi sampai membabat hutan yang masih alami,” katanya lagi.*
Eni Muslihah
Pegiat Lingkungan di Lampung: [email protected]